Jelang Kongres XXI, Senior PMII Tekankan Pentingnya Peningkatan Kualifikasi Kader
Rabu, 10 Juli 2024 | 11:17 WIB
Ketua Bidang Kaderisasi Nasional PB PBMI 2011-2014 dan Warek Unusia Dwi Winarno dalam Podcast bersama Gerakan Pemuda Ansor. (Foto: tangkapan layar Kanal Youtube GP Ansor)
Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) akan melaksanakan Kongres XXI di Kota Palembang, Sumatera Selatan pada 12-14 Agustus 2024 mendatang. Badan Pekerja Kongres (BPK) telah menetapkan 22 kandidat Ketua Umum PB PMII dan 8 Ketua Kopri PB PMII yang akan maju dalam kontestasi.
Senior PMII Dwi Winarno menyatakan, forum kongres lebih dari sekadar mencari pemimpin baru. Ia juga menekankan pentingnya PMII memperbaiki sistem kaderisasi dan melakukan peningkatan kualifikasi kader agar dapat menjawab kebutuhan meritokrasi.
Dwi Winarno yang pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Kaderisasi Nasional PB PMII pada periode 2011-2014 menegaskan, meritokrasi menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia sebagai negara modern.
"Tantangan kita sebagai negara modern semakin mendatang adalah meritokrasi. Suka atau tidak itu pasti terjadi meskipun kadarnya tidak akan terlalu ekstrem full meritokrasi, tetapi secara bertahap akan menuju ke sana," ujar Dwi dalam Podcast bersama Gerakan Pemuda Ansor bertajuk Mencari Mahbub di Kongres PMII, dilihat NU Online, Selasa (9/7/2024).
"Mungkin 90 persen kan sistem kita berdasarkan meritokrasi mungkin 95 persen tapi one day (suatu saat) itu pasti terjadi. Suatu saat itu terjadi sementara kita tak punya kecakapan. Ini masalah besar," imbuhnya.
Menurut Dwi, PB PMII harus serius mampu meningkatkan kualifikasi kader PMII secara lebih baik karena tantangan saat ini adalah mereka yang sama-sama terdidik dan punya kualitas bagus.
Ia menceritakan kesulitan yang pernah dihadapi Gus Dur saat mencari kader PMII yang berkualitas untuk mengisi posisi strategis dalam pemerintahan. Menurutnya, pelajaran dari Gus Dur perlu diperhatikan serius oleh PMII saat ini.
"Saya suka ngomong ke adik-adik saya, Anda bayangkan ketika Gus Dur dulu berkuasa menjadi presiden betapa sulitnya Gus Dur mencari kader PMII yang punya kualifikasi bagus untuk ditempatkan dalam posisi kementerian yang dianggap strategis dalam pemerintahan," kata Dwi.
Ia juga menyoroti kecenderungan kader PMII yang hanya berfokus pada segmen tertentu, seperti menjadi anggota legislatif atau penyelenggara pemilu, Komnas HAM, atau Komisi Perlindungan Ibu dan Anak.
"Itu kesulitan terus dari tahun 1999 itu terjadi sampai Gus Dur lengser 2001. Apa yang sudah kita lakukan dengan pelajaran sejarah tadi? Jangan-jangan enggak ada. Kita kira-kira main di segmen yang puluhan tahun baru di situ aja," ungkap Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.
Dwi mengungkapkan bahwa ketiadaan dukungan PMII dalam peningkatan pengetahuan dan karier akademik kader kerap kali jadi hambatan. Karena itu, ia menekankan pentingnya keteladanan dalam organisasi.
"PMII dulu enggak pernah support apa-apa, misalnya dulu pada peningkatan stock of knowledge tidak dilakukan, peningkatan karier akademik, penambahan pengetahuan yang menunjang prestasi akademik juga tidak ada," ungkap Dwi.
"Kita butuh keteladanan, orang itu menyatu kalau keteladanan itu hadir. Kenapa orang malas bersatu yang mereka profesional yang basisnya PMII? sederhananya terjadi distrust (ketidakpercayaan)," pungkasnya.