JPPI Duga Kasus Penerima KIP Kuliah Tak Tepat Sasaran Meluas Secara Nasional
Jumat, 3 Mei 2024 | 07:30 WIB
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji saat sedang melayani wawancara cegat dengan para wartawan, di Jakarta, pada Kamis (2/5/2024). (Foto: NU Online/Indirapasha)
Jakarta, NU Online
Kasus penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KPIK) dari Universitas Diponegoro (Undip) yang diduga tidak tepat sasaran tengah menjadi perhatian warganet di media sosial X. Kasus ini diduga telah meluas secara nasional.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kasus semacam ini bukan hanya terjadi di satu atau dua orang, tetapi bisa berskala nasional.
“KIP Kuliah justru (membuat) mahasiswa hedon. Artinya, saya yakin tidak hanya terjadi ke satu dua orang itu, tapi secara nasional,” kata Ubaid usai mengisi diskusi dan refleksi Hardiknas 2024 di Jakarta Pusat, Kamis (2/5/2024).
Ia lantas menekankan pentingnya melakukan audit terhadap KIP Kuliah untuk mengidentifikasi adanya kesalahan memasukkan data. Salah satu faktor utama yang perlu diperhatikan adalah transparansi dalam proses penerimaan, mulai dari pengumuman hingga verifikasi data.
“Ada inclusion error dan exclusion error itu harus diaudit. Kenapa itu bisa terjadi? Karena prosesnya tidak transparan mulai dari pengumuman, kemudian proses verifikasi data. Apakah yang mendaftar sudah benar layak sebagai penerima manfaat atau hanya akal-akalan titipan data?" ungkap Ubaid.
Selain itu, ia menekankan perlunya pengumuman yang terbuka agar mahasiswa, masyarakat, dan orang tua bisa berperan sebagai kontrol sosial . Dengan demikian, proses KIP Kuliah yang transparan, akuntabel, dan partisipatif akan memberikan kesempatan untuk perbaikan.
“Ketika KIP prosesnya mulai dari perencanaan sampai dengan pengumuman dan evaluasi dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, tentu ada perbaikan,” ucapnya.
Kampus merdeka
Ubaid juga mengkritik kebijakan kampus merdeka yang dinilainya belum memberikan dampak signifikan setelah empat tahun berjalan. Ia menyoroti kebijakan perguruan tinggi yang dinilai memberikan fasilitas istimewa kepada pinjaman online (pinjol) dan kenaikan biaya kuliah yang drastis, sehingga menyebabkan banyak mahasiswa terpaksa putus kuliah.
“Nyatanya justru perguruan tinggi memberikan karpet merah kepada pinjol. Kemudian, UKT naik gila-gilaan, lalu ada banyak mahasiswa yang putus kuliah. Kuliah menjadi barang yang sangat mahal di perguruan tinggi negeri,” jelasnya.
Menurut Ubaid, hal tersebut menjadikan kampus merdeka sebagai sebuah episode yang perlu dievaluasi secara menyeluruh. Ia menekankan perlunya menghentikan kebijakan yang merugikan dan menggantinya dengan solusi yang lebih baik.
“Ada episode yang berdampak terhadap perubahan soal akses menjadi tambah rendah, biaya kuliah tambah mahal, ini harus dievaluasi. Makanya, saya bilang lampu kuning, karena harus dievaluasi dulu, jangan langsung jalan. Sekian episode ini ada yang bagus kita lanjutkan, tapi yang buruk harus kita stop, ganti,” pungkasnya.