JPPI: Visi Misi Ketiga Capres Tidak Menjawab Tantangan Pendidikan
Jumat, 2 Februari 2024 | 20:00 WIB
Jakarta, NU Online
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan bahwa visi misi dari ketiga calon presiden (capres) 2024 tidak bisa menjawab tantangan pendidikan yang sedang terjadi saat ini.
“Tidak ada visi misi dari semua pasangan capres-cawapres yang secara mendasar menjawab atas tantangan pendidikan yang sedang terjadi,” kata Ubaid dalam acara Diskusi Publik: Bedah Gagasan Capres Atas Akar Persoalan Pendidikan, Jumat (3/2/2024) di Jakarta.
Hal itu, menurutnya, tampak dari polemik pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan skema cicilan lewat pinjaman online (pinjol) yang tengah hangat diperbincangkan. Menurutnya, kasus tersebut menandakan pemerintah belum menjamin hak pelajar, sebagaimana diamanatkan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945.
“Mahasiswa yang merasa UKT-nya ketinggian dipaksa untuk berhubungan dengan pinjol. Nah, soal biaya pendidikan ini menjadi satu masalah bagi warga negara Indonesia,” ujar dia.
Padahal, lanjut dia, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan layanan pendidikan dari pemerintah yang berkualitas dan berkeadilan.
“Tapi, nyatanya yang bisa kuliah hanya orang-orang kaya saja, dan yang ekonominya kurang dipaksa berhubungan dengan pinjol. Kurang lebih seperti itu masalahnya,” ucap Ubaid.
Hal itu, terang dia, menandakan negara sudah melepaskan tanggung jawab dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.
“Ini yang dikhawatirkan masyarakat soal liberisasi dan komersialisasi pendidikan, dan itu sedang terjadi sekarang. Itu jadi masalah,” terangnya.
Kemudian, Ubaid menyinggung perihal program wajib belajar 12 tahun yang tidak memenuhi target. Ia menguraikan angka putus sekolah di Indonesia saat ini rata-rata terjadi pada tahun ke-8 menempuh pendidikan.
"Apakah ada capres-cawapres yang membicarakan soal ini? Itu yang pertama. Kemudian yang kedua di level pendidikan dasar dan menengah, sejak tahun 2012 dalam RPJMN, dalam kebijakan Kemendikbud dan kebijakan presiden, kita ini sudah beralih dari 9 tahun ke wajib belajar 12 tahun," papar dia.
Lebih lanjut Ubaid menilai gagasan para capres-cawapres dengan membedah kebijakan-kebijakan yang telah mereka terapkan di instansi mereka bertugas. Ia menyebut, seperti yang terjadi di DKI Jakarta, angka putus sekolah masih menjadi tertinggi di Indonesia.
"DKI Jakarta adalah kota dengan anggaran pendidikan terbesar di Indonesia. Akan tetapi, DKI Jakarta menyandang predikat kota dengan angka putus sekolah dasar tertinggi di Indonesia," bebernya.
Berdasarkan data Kemendikbud, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan angka putus sekolah SD tertinggi yakni mencapai 0,69 persen. Angka ini cukup jomplang dengan urutan provinsi ke-2 yakni Kalimantan Utara, dengan angka putus sekolah sebesar 0,42 persen.
Lebih lanjut, Ubaid juga melihat tingkat putus sekolah di Jawa Tengah cukup tinggi. Selain itu, literasi anak di beberapa daerah juga masih rendah.