Jurnalis Lintas Generasi Bicara Ulang Arah Bangsa lewat Buku Reset Indonesia
Ahad, 5 Oktober 2025 | 03:00 WIB
Buku Reset Indonesia karya empat jurnalis lintas generasi yang diluncurkan di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Sabtu (4/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Empat jurnalis lintas generasi merangkum perjalanan panjang ekspedisi mereka dalam sebuah karya berjudul Buku Reset Indonesia: Gagasan Tentang Indonesia Baru. Buku ini berisi gagasan tentang Indonesia baru dan diluncurkan di Pos Bloc, Sawah Besar, Jakarta, Sabtu (4/10/2025).
Karya tersebut lahir dari tiga ekspedisi jurnalistik lintas generasi yang dilakukan selama 15 tahun, mulai dari Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa (2009), Indonesia Biru (2015), hingga Ekspedisi Indonesia Baru (2022-2023).
Empat penulis dengan rentang usia berbeda itu adalah Farid Gaban (Baby Boomer), Dandhy (Generasi X), Yusuf Priambodo (Milenial), dan Benaya Harobu (Generasi Z). Mereka menyajikan catatan tentang Indonesia dari pinggiran. Mereka juga merekam realitas di lapangan, menyoroti kesehatan masyarakat secara dekat, serta membawa pulang 12 terabyte video dan 80.000 frame foto.
Benaya Harobu menjelaskan, buku Reset Indonesia ini merupakan wujud kecintaan terhadap tanah air. Namun, kecintaan itu perlahan terkikis ketika ia melihat langsung konflik di berbagai daerah, mulai dari Jawa, Bali, Lombok, hingga Papua.
“Cinta saya makin luntur setiap kali singgah di daerah konflik, tetapi api saya tidak ingin menghilangkan optimisme. Buku ini adalah puncak keresahan kami anak-anak muda,” ujar Benaya.
Ia menyinggung keresahan generasi muda, terutama soal sulitnya memiliki rumah di tengah harga tanah yang melambung tinggi.
“Sekarang, generasi Z dan milenial, 81 juta orang tidak bisa punya rumah. Coba harga rumah di Jakarta Rp70 juta per meter, gaji di Jogja saja tidak sampai 3 juta. Mau nabung sampai umur 80 pun tetap tidak kebeli,” katanya.
“Satu orang menguasai 58 persen tanah di Indonesia. Kita tahu siapa dia, sering muncul di TV, di berita. Sistem kita sudah terlalu rusak,” tambahnya.
Baca Juga
Indonesia ke Arah Bangsa yang Gagal
Keresahan serupa juga disuarakan Yusuf Priambodo. Ia mengibaratkan Indonesia sebagai rumah tua yang berusia 80 tahun kemerdekaan, penuh kebocoran, tetapi hanya ditambal seadanya.
Yusuf menuturkan pengalamannya saat bertemu Suku Ata Modo di Pulau Komodo, yang kehidupannya berubah drastis setelah wilayah mereka dijadikan taman nasional dan destinasi wisata. Dari berburu dan melaut, mereka kini dipaksa menjadi penjual cenderamata seharga Rp50.000-Rp100.000.
“Ketimpangan itu nyata. Warga lokal dipinggirkan demi pariwisata mewah,” ucapnya.
Kisah lain datang dari Labuan Bajo. Destinasi yang digadang-gadang sebagai "Bali Baru" itu ternyata menyimpan ironi. Warga setempat harus membeli air bersih Rp10.000-Rp20.000 per hari, sementara hotel-hotel mewah di sekitarnya memiliki kolam renang luas.
“Air, kebutuhan paling dasar manusia, justru jadi yang paling sulit didapatkan di kota yang katanya premium,” tegasnya.
Yusuf juga menceritakan pertemuannya dengan seorang nelayan di Trenggalek bernama Pak Nur Kawit. Nelayan itu dengan tegas menolak rencana tambang emas seluas 12.000 hektar di Kabupaten Trenggalek.
“Hutan dan laut inilah sebenarnya emas hijau yang asli. Kalau emas yang ditambang sana, emas kuning, itu hanya bisa dinikmati segelintir orang. Kalau emas hijau ini, kita semua bisa menikmati,” kata nelayan yang diceritakan Yusuf.image widget