Sukoharjo, NU Online
Kurang cepatnya respon Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) terhadap keinginan kalangan mahasiswa, salah satu alasan mahasiswa NU mendirikan perkumpulan sendiri di lingkungan kampus.
"Maka, perkumpulan mahasiswa NU mendirikan organisasi ektra kampus dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Nah, setelah itu baru IPNU mendirikan departemen Perguruan Tinggi dengan nama yang berbeda karena karena tidak ada yang mengkoordinir,” papar KH Munsif Nakhrawi.
Hal itu disampaikan tentang sejarah berdirinya PMII saat dirinya menghadiri acara Mahbub Djunaidi Festival yang diselenggarakan oleh Rayon Persiapan Ali Ahmad Baktsir, Fakultas Adab dan Bahasa, IAIN Surakarta, Sabtu (16/11).
“Acara Mahbub Festival merupakan kegiatan penting dari serangkaian kegiatan yang pertama kali diselenggarakan di lingkup PMII Cabang Sukoharjo, semua kegiatan ini didedikasikan untuk Bapak Ideologis kita yaitu Mahbub Djunaidi,” ucap Ketua Rayon Persiapan Ali Ahmad Baktsir.
Hal tersebut diamini oleh KH Munsif Nakhrawi yang merupakan salah satu dari 13 orang pendiri PMII tentang proses terpilihnya Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum pertama PMII yang dikukuhkan pada tanggal 17 April 1960.
“Mungkin karena waktu yang kurang tepat, yang hadir hanya 13 orang saja namun sudah mewakili karena berasal dari berbagai daerah di Nusantara," ungkapnya.
Dijelaskan, dalam rapat tersebut perwakilan mahasiswa dari DKI mengusulkan Mahbub Djunaidi dan disetujui oleh 10 orang lain yang hadir. Mereka setuju sebab sudah tau dan mendengar siapa Mahbub Djunaidi dengan intelektual dan kehebatanya yang tidak diragukan lagi. Makanya, kader PMII wajib meneladaninya.
"Selain membincangkan sosok Mahbub Djunaidi melalui sudut pandang KH Munsif Nakhrawi sebagai sahabat juang beliau, dalam acara yang diselenggarakan di Gedung Olahraga Kelurahan Wironggunan itu, dihadirkan pula putra kandung dari Mahbub Djunaidi yaitu Isfandiari Mahbub Djunaidi," jelasnya.
Dikatakan, putranyalah yang memaparkan kisah hidup sang Pendekar Pena sekaligus bapak inspiratif dan mengajak para kader PMII yang berasal dari berbagai kota baik dari Magelang, Semarang, Wonosobo hingga Malang yang hadir pada saat itu untuk mengenal lebih dekat sosok Mahbub Djunaidi melalui sudut pandang keluarga.
“Selama beliau kerja di Kompas, setengah dari gajinya dibelikan buku-buku, sebagian lain digunakan untuk membeli binatang-binatang aneh kesukaan bapak di pasar burung, baru sisanya diserahkan ke ibu untuk urusan dapur,” tutur Bung Isfan dengan sedikit berkelakar.
Kepada NU Online, Rabu (20/11) Panitia Mahbub Festival Khoirun Nisa’ menjelaskan, kegiatan pada Sabtu malam kemarin merupakan acara Talk Show sebagai puncak dari serangkaian kegiatan yang diselenggarakan sejak Sabtu tanggal 9 November 2019 dengan tema Membumikan Pemikiran Mahbub Djunaidi.
Adapun serangkaian acara yang dimaksud berupa sekolah jurnalistik, bincang buku karya Mahbub Djunaidi, muqaddaman Al-Qur’an dan kelas pemikiran Mahbub Djunaidi.
"Kisah yang beliau sampaikan relevan dengan pesan Ade Muis kepada kader PMII di acara tersebut untuk mencontoh keberanian, kegigihan serta intelektualitas Mahbub Djunaidi melalui kebiasaan membaca buku," ucapnya.
Dikatakan, Mahbub Djunaidi merupakan sosok santri yang militan dalam dunia jurnalistik. Berkat kebiasaan membaca sejak kecil semasa pendidikannya di Mambaul Ulum, mencontoh beliau yang dalam berbagai tulisanya mampu meyampaikan kritik pedas bergaya humor namun tetap bisa sampai dan mengena pada orang atau rezim yang berkuasa pada masa itu.
Kontributor: Arindya, Ajie najmuddin
Editor: Abdul Muis