Kasus Kekerasan Seksual Mei 1998 Harus Tetap Dicatat dalam Sejarah, Bukan Dihilangkan
Kamis, 16 Oktober 2025 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998 harus tetap dipertahankan dalam catatan sejarah nasional dan tidak boleh dihapus.
Hal ini ditegaskan oleh Ita Fatia Nadia, anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Acara Talkshow, Pameran, dan Refleksi 27 Tahun Komnas Perempuan di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat pada Rabu (15/10/2025).
Ita menyampaikan bahwa upaya menjaga ingatan kolektif atas tragedi tersebut kini terus dilakukan oleh berbagai komunitas, terutama dari kalangan muda Tionghoa. Ia menyebut sejumlah komunitas itu, antara lain Komunitas Bun Hiantong di Semarang, komunitas para penyintas dan anak-anak penyintas Mei 1998 di dalam dan luar negeri yang aktif mendokumentasikan pengalaman keluarga mereka, serta komunitas 98 Glodok, yang beranggotakan anak muda Tionghoa.
“Mereka mengumpulkan cerita luar biasa tentang bagaimana perasaan ibu, nenek, dan kakak mereka pada Mei 1998. Ini bentuk perlawanan anak muda terhadap lupa sejarah,” ujarnya.
Namun, Ita menyoroti adanya ancaman penghapusan sejarah perempuan dan pelanggaran HAM berat masa lalu dari proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang digagas Menteri Kebudayaan Fadlison.
Menurutnya, proyek tersebut dilakukan tanpa keterbukaan dan transparansi, bahkan berpotensi menghilangkan peristiwa penting seperti Mei 1998.
“Kami membuka dokumen penulisan sejarah resmi dari jilid 1 sampai 10. Sejarah perempuan hanya menampilkan tokoh besar seperti Kartini dan Dewi Sartika. Sementara pelanggaran HAM berat, termasuk kekerasan seksual Mei 1998, itu dihapus,” ungkapnya.
Padahal, Presiden Joko Widodo telah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2023 yang mengakui 16 pelanggaran HAM berat, salah satunya kekerasan seksual Mei 1998. Karena itu, Ita bersama sejumlah tokoh, termasuk Marzuki Darusman, membentuk Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia untuk menolak penghapusan peristiwa tersebut dari sejarah nasional.
Aliansi tersebut telah melaporkan dan melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI agar pemerintah tidak menjadikan sejarah sebagai proyek politik.
“Negara tidak berhak menulis sejarah resmi. Sejarah harus terbuka bagi masyarakat, bukan ditentukan oleh pemerintah,” tegas Komisioner Komnas Perempuan periode 1998–2006 itu.
Ita menegaskan bahwa pentingnya mempertahankan memori kolektif bangsa terhadap tragedi Mei 1998 sebagai bagian dari sejarah nasional. Upaya penghapusan atau penyangkalan terhadap peristiwa ini sama saja dengan mengingkari perjuangan korban dan penyintas yang menuntut kebenaran serta keadilan.
“Tragedi Mei 1998 bukan sekadar peristiwa kelam, tetapi bagian penting dari perjalanan bangsa menuju demokrasi. Menghapusnya berarti menghapus luka dan pelajaran berharga bagi Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu, Akademisi Prof Sulistyowati Irianto menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998 merupakan kelanjutan dari sejarah panjang kekerasan terhadap perempuan Indonesia.
“Perkosaan Mei 1998 adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah perempuan Indonesia. Ini menyangkut konstruksi identitas dan politik eksklusi terhadap kelompok etnis dan gender tertentu,” ujarnya.
Menurutnya, sepanjang sejarah Indonesia, perempuan selalu hadir dalam berbagai peristiwa penting, mulai dari perjuangan hak politik di awal abad ke-20, masa penjajahan Jepang, hingga tragedi kemanusiaan pascakemerdekaan. Namun, peran tersebut sering dihapus atau dipinggirkan dari sejarah resmi.
“Tanpa sejarah, kita tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang tidak boleh terjadi dan apa yang harus dipertahankan. Manipulasi sejarah kemanusiaan perempuan adalah bentuk kejahatan kemanusiaan itu sendiri,” ungkap Prof Sulistyowati.