Katib Aam PBNU Jelaskan 3 Hal Dasar Bangun Visi NU dan NKRI
Jumat, 29 Januari 2021 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menjelaskan tiga hal mendasar dalam membangun visi NU dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tengah keadaan serba tidak menentu saat ini. Hal itu disampaikan saat diskusi virtual NU Penjaga NKRI: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan pada Jumat (29/1).
Pertama, menurutnya, kita harus memahami wawasan pendiri kedua entitas tersebut. Tentang NU, Gus Yahya mengajak untuk memahami wawasan inisiator ketika mereka mendirikan organisasi ini pada 1926, yakni tidak lama setelah Perang Dunia Pertama dan bubarnya Turki Utsmani.
“Ini bukan momentum sejarah sederhana. Ini momentum sejarah luar biasa karena menandai runtuhnya tata politik dunia beradabad-abad, mungkin ribuan tahun,” katanya.
Gus Yahya menyampaikan bahwa negara Indonesia ini diproklamirkan begitu saja tanpa modal yang besar mengingat saat itu masih miskin. Bung Karno dan para pendiri bangsa membangun negara ini di atas pondasi kemanusiaan.
“Dalam realitas yang kita lihat bahwa wawasan yang dirumuskan dan ditetapkan para pendiri bangsa ini melampaui berbagai macam inisiatif global yang muncul kemudian,” katanya.
Piagam PBB baru ada 24 Juni 1945. Tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno sudah berbicara mengenai internasionalisme. Bahkan, PBB berdiri pada Oktober 1945, dua bulan setelah Indonesia merdeka.
“Indonesia didirikan dengan kesadaran. Negara bangsa ini tidak mungkin bertahan keberadaannya kecuali apabila dunia ini berubah dengan tatanan yang menghargai kedaulatan bangsa-bangsa,” jelasnya.
Karenanya, alinea pertama sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, bukan hanya bangsa Indonesia. Pasalnya, penjajahan masih dianggap normal, terbukti dengan keinginan Belanda yang masih mau mengklaim Indonesia sebagai jajahannya.
Maka, Indonesia harus memperjuangkan tata dunia baru yang memungkinkan bangsa dan negara ini bertahan hidup walau dengan segala keterbatasan yang ada.
“Ini yang harus kita pahami tentang visi masa depan,” tegas Gus Yahya.
Kedua, Gus Yahya menekankan bahwa kita harus jujur terhadap realitas yang ada. Apapun yang dikatakan orang kalau menyajikan data perlu dibaca sebagai realitas. Perihal realitas yang tidak menunjukkan komprehensif itu soal lain.
Kesimpulan itu, katanya, memang selektif data mengingat ada data lain yang tidak diikutkan. Tetapi hal demikian merupakan realitas yang harus dihadapi dengan jujur.
“Kita harus mengakui adanya masalah secara jujur,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Ketiga, kita harus melihat ada momentum apa dalam dunia ini yang penuh tantangan. Ini momentum umat manusia seluruhnya ditantang untuk menemukan konsensus sebagai landasan supaya bisa hidup berdampingan secara damai di tengah keragaman dunia.
Peran yang dapat diambil menghadapi tantangan masa depan adalah dengan menyongsong dan membangun tata peradaban umat manusia baru. Sebab, kelahiran NU dan Indonesia adalah karena mengisi kekosongan setelah tatanan dunia yang lama runtuh. “Ini peran yang harus kita tangkap tantangan masa depan,” ujarnya.
Senada dengan Gus Yahya, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Komaruddin Hidayat juga menyampaikan bahwa peran NU dalam menjaga Indonesia harus dilihat dari genealogi lahirnya Indonesia.
“Indonesia lahir beda dengan Amerika, beda dari Timur Tengah, karena Indonesia lahir dari rahim masyarakat Indonesia yang ingin merdeka yang letih lelah tidak mau dijajah,” katanya.
Karenanya, Indonesia lahir sebagai negara yang tampil didorong oleh nilai-nilai luhur yang disarikan dalam Pancasila. Bangsa itu, menurutnya, imajinasi masa depan. Bangsa Indonesia itu himpunan suku-suku sehingga disebut Bhinneka Tunggal Ika.
“Dalam konteks inilah, peran umat Islam lebih-lebih NU yang warganya banyak sekali sangat besar jasanya mengantarkan lahirnya bangsa ini dan menjaga kohesi sosial bangsa ini,” tegas akademisi kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 67 tahun yang lalu itu.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad