Katib Aam PBNU Sebut Konflik Prancis Bentuk Supremasi Sekularisme
Selasa, 3 November 2020 | 12:05 WIB
Jakarta, NU Online
Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyebut apa yang terjadi di Prancis baru-baru ini merupakan bentuk dari gejala supremasi sekularisme.
Pasalnya, ia melihat Presiden Emmanuel Macron membela pembuatan kartun Nabi Muhammad SAW oleh majalah Charlie Hebdo. Padahal menurutnya, tindakan Charlie Hebdo tersebut telah melakukan penghinaan.
Hal tersebut ia sampaikan saat galawicara Peci dan Kopi bertema “Islam and Blasphemy,” yang digelar 164 Channel dengan NU Online pada Selasa (3/11).
Supremasi sekularisme ini muncul setelah hadir supremasi agama di masa-masa sebelumnya. Hal-hal yang berkaitan dengan agama menjadi tersudutkan di masa ini, sedangkan kebebasan lain yang sebetulnya terbatasi dalam wilayah agama dibela.
Gus Yahya, sapaan akrabnya, mencontohkan jika ada orang yang menghina agama itu seolah tidak menjadi masalah, tetapi jika ada orang yang menghina LGBT itu bisa mendapatkan sanksi yang cukup berat. Sanksi hukumnya mungkin tidak ada, tetapi sanksi sosialnya, menurutnya, bisa berat karena ada persekusi atau pemecatan dari profesinya.
“Kenapa tindakan majalah Charlie Hebdo mendapatkan pembelaan dari pemerintah Perancis tapi juga dari mungkin publik Prancis pada umumnya atau mayoritas publik Prancis karena memang Prancis itu punya sejarah perlawanan terhadap agama lain. Itu kan muncul karena perlawanan terhadap supremasi agama,” katanya.
Fenomena di Prancis, penghinaan umat terhadap umat beragama, tidak hanya pada Islam, tapi kepada Yahudi dan Nasrani. Karenanya, fenomena yang terjadi bukan wacana Islam lawan Kristen, tapi soal sekularisme ekstrem yang cenderung menganggap agama sebagai lawannya, atau pihak yang harus ditekan karena dianggap berbahaya, tahayul, dan sebagainya.
Peran NU di Tengah Konflik Sekularisme dan Islamisme Internasional
Pertentangan Sekularisme dan Islam ini juga pernah dialami Nur Rofiah kala masih studi di Ankara, Turki. Ketika partai Islam menang, masyarakat Muslim mengalami persekusi, seperti harus menanggalkan jilbab bagi perempuan dan tidak berjambang bagi laki-laki.
Dari fenomena yang pernah dialaminya itu, menurutnya, permasalahan utama adalah belum selesainya hubungan antara agama dan negara.
“Menurut saya problem utamanya adalah bagaimana hubungan antara agama dan negara itu yang belum selesai, bagaimana caranya muslim terutama mereka yang hidup di negara-negara seperti Indonesia atau negara-negara mayoritas muslim menjadi minoritas itu gimana caranya mendudukan diri, meletakkan identitas keislaman dan identitas kewarganegaraan,” kata dosen pascasarjana ilmu tafsir di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta itu.
Pengampu Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) itu menyebutkan bahwa NU yang sudah selesai dalam mendudukkan posisi agama dan negara dapat menawarkan hasil pemikirannya pada dunia internasional yang masih kebingungan terhadap pengambilan posisi ganda, yakni sebagai warga negara dan sebagai manusia berkeyakinan.
“Membantu mereka yang masih kebingungan dalam mendudukkan diri terhadap identitas ganda itu apakah Bagaimana sebagai Muslim di satu sisi dan bagaimana sebagai warga negara dan itu tentu saja tidak hanya kapasitas Muslim ya, tetapi juga umat agama lain dalam sebuah negara demokrasi,” pungkasnya.
Senada dengannya, Pakar Hubungan Internasional yang juga alumni Prancis Mahmud Syaltout menyebut NU perlu memainkan perannya melalui kerja sama dengan ulama Prancis yang moderat.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad