Kedaulatan Rakyat Atas Tanah Jadi Bahasan di Muktamar NU
Jumat, 3 Desember 2021 | 21:00 WIB
Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah Muktamar NU KH Abdul Moqsith Ghazali dalam konferensi pers di lantai 5 Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, pada Jumat (3/12/2021).
Jakarta, NU Online
Kedaulatan rakyat atas tanah menjadi salah satu bahasan di Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Provinsi Lampung mendatang. Masalah ini akan dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah.
“Kita tahu bahwa tanah yang menjadi rukun di dalam sebuah negara itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Sementara warga negara yang hidup di Indonesia ini selalu bertambah dan tidak pernah berkurang,” jelas Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah Muktamar NU KH Abdul Moqsith Ghazali dalam konferensi pers di lantai 5 Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, pada Jumat (3/12/2021).
Jumlah warga negara Indonesia terus mengalami peningkatan. Saat ini sudah hampir tembus hingga 300 juta penduduk. Namun, kata Kiai Moqsith, tanah yang dimiliki tidak pernah bertambah.
Bahkan terdapat banyak warga negara yang tidak punya tanah, meskipun hanya 1x2 meter persegi di saat ada warga negara atau individu lain di dalam negara ini justru memiliki jutaan hektar tanah.
“Itu makanya kita akan bicara soal pandangan Islam tentang tanah dan konsep kepemilikannya, sejauh mana hak rakyat atas tanah, hubungan individu, badan hukum, dan negara ketika terjadi konflik atas kepemilikan dan pemanfaatan tanah,” jelas Kiai Moqsith.
Ia lantas mengutip Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’.
“Tetapi penguasaan negara terhadap tanah itu tidak menunjukkan kepemilikan negara. Penguasaan negara atas tanah harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tegasnya.
“Terserah siapa yang mau mengelola rakyat itu, apakah misalnya individu per individu, BUMN atau korporasi swasta, tetapi harus kita pastikan semuanya itu dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” imbuh Kiai Moqsith.
Ia menjelaskan, negara bisa saja menyerahkan pengelolaan tanah untuk koorporasi swasta atau BUMN, tetapi harus dipastikan pengelolaannya itu untuk kemakmuran. Itulah amanat dari UUD 1945.
“Bahkan di dalam UU Pokok Agraria Tahun 1960 dijelaskan, bukan hanya bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, tetapi angkasa kita ini juga dikuasai oleh negara dan dimiliki oleh negara. Penguasaan negara atas semuanya harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” jelasnya.
Persoalan tanah ini tidak hanya akan dibahas di komisi bahtsul masail maudhu’iyah saja tetapi juga akan dibahas di komisi bahtsul masail waqi’iyah dan qanuniyah. Waqi’iyah akan menyoroti soal banyak kasus yang melibatkan konflik atas tanah, sedangkan qanuniyah membahas dari aspek regulasinya.
Sementara komisi bahtsul masail maudhu’iyah, kata Kiai Moqsith, akan membahas dari aspek konseptualnya. Ia lantas mengutip QS Hud ayat 61 bahwa manusia diberi mandat untuk memakmurkan bumi.
“(Masalah tanah) ini pembahasannya cukup panjang dan alot sekali karena kita bicara dari berbagai arah, sehingga betul-betul setiap individu warga negara di Indonesia ini memiliki hak tanah, karena tanah itu washilah untuk terpenuhinya hak asasi manusia,” katanya.
Kiai Moqsith menegaskan, pihaknya baru sekadar memberikan draf untuk dibicarakan atau dibahas di dalam sidang Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah di Muktamar ke-34 NU mendatang. Kemudian akan dibawa ke sidang pleno dan menjadi keputusan resmi NU.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF