Jakarta, NU Online
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah berpulang sejak 12 tahun lalu. Namun ingatan soal dukacita mendalam pada waktu itu, masih membekas. Putri sulung Gus Dur, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengenang detik-detik sang ayah dimakamkan, pada 31 Desember 2009 silam, satu hari setelah Gus Dur wafat.
Ia mengatakan bahwa saat itu merupakan tanggal paling berat di hidupnya. Bahkan, Alissa tidak sempat menangis. Ia hanya bertekad untuk memberikan pelayanan terakhir kepada melahirkannya secara jasmani dan rohani.
“Sedikit pun tak menduga, justru bakti besar saya baru dimulai. Ibu dan adik-adik saya tergugu sejak malam sebelumnya. Jadi saya ambil alih semua keputusan,” katanya dalam cuitan di akun @AlissaWahid, dilihat NU Online, pada Jumat (31/12/2021) siang.
Alissa mengaku sempat mengancam para pejabat negara untuk menolak upacara pemakaman kenegaraan bagi jenazah Presiden keempat RI itu apabila para kiai, nyai, dan jamaah dilarang masuk serta mengumandangkan tahlil Ciganjur, Jakarta Selatan, dan Tebuireng, Jombang.
Meski sudah 12 tahun berlalu, tetapi peristiwa itu masih membekas di benak Alissa. Saat itu, Alissa melakukan negosiasi dengan panglima TNI agar para kiai dapat shalat jenazah di maqbarah Tebuireng, Jombang. Ia bahkan melihat sangat banyak orang yang berada di atas atap dan pohon di sekitar makam, meluapkan kesedihan.
“Anak-anak saya masih balita. Mereka trauma berdesak-desakan hari itu. Tetapi kami ajarkan, ‘semuanya orang baik yang sayang Yangkung (kakek)’. Sekitar setahun kemudian, saat antri keluar pesawat, Ragil (anak bungsu) saya berujar ‘ini orang-orangnya sayang Yangkung ya bu?’,” kata Alissa, berkisah.
Baginya, tanggal 31 Desember 2009, tepat 12 tahun lalu, merupakan hari yang kelam. Di hari itu pula yang membuatnya harus memaksa diri untuk meninggalkan zona nyaman. Tujuannya agar dapat berbakti sepenuhnya pada lelaki yang menjadi pilar kehidupan sekaligus meneruskan laku perjuangan mewujudkan kemaslahatan, terutama bagi mereka yang lemah dan dilemahkan.
“Untuk Gus Dur yang hatinya penuh cinta dan keberanian, dan untuk semua yang mendoakannya, al-fatihah,” kata Alissa, mengakhiri utas cuitannya di twitter.
Langit Desember yang murung
Sementara itu, seorang sahabat Gus Dur KH Husein Muhammad atau yang akrab disapa Buya Husein juga mengisahkan detik-detik Gus Dur dimakamkan. Ia menuliskannya dalam sebuah catatan yang diberi judul ‘Langit Desember yang Murung’. Catatan itu diunggah di akun facebook dan Instagram pribadinya. Kemudian diunggah ulang oleh akun Instagram resmi Jaringan Gusdurian.
“Dini hari yang sejuk, jam 03.00, ketika saya tiba, di jalan Warung Sila sampai rumah duka, karangan bunga berwarna-warni, tanda duka cita, berjejer tak berjarak, berserak dan bertumpuk, bagi Presiden ke-4, bukan Mantan Presiden. Saya tak bisa menghitung jumlahnya,” tulis Buya Husein.
Beberapa jam sebelumnya, jalan menuju rumah duka di Ciganjur, macet total. Ratusan kendaraan dan pejalan kaki seakan tak bergerak, stagnan. Semuanya sengaja datang ke rumah Gus Dur, menyambut kedatangan dan menyampaikan takziah kepada keluarga Gus Dur.
Ketika Buya Husein tiba di sana, ia menyaksikan ribuan orang masih berjaga di ruang-ruang di sekitar rumah duka. Masjid Al-Munawwaroh, tempat Gus Dur mengaji kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah seorang sufi besar, dan kitab-kitab lain, masih gemuruh dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
“Saya segera masuk rumah. Jenazah sudah dibaringkan. Wajah Gus Dur yang tertutup kelambu putih yang tipis, terlihat jelas, seakan-akan sengaja dibiarkan agar para pelayat bisa melihatnya. Saya segera mendapat giliran entah untuk yang ke berapa puluh kali, memimpin shalat janazah, tahlil dan berdoa,” ungkap Pengasuh Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat itu.
Di hadapan jenazah Gus Dur, tubuh yang masih itu, Buya Husein kemudian teringat kata-kata dalam sebuah buku tasawuf.
“Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan menguasai diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan, maka jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata (Alam Al-Musyahadah) di mana para bijak-bestari tinggal,” demikian kalimat tasawuf yang ditulis Buya Husein.
Buya Husein lantas memaknai bahwa jenazah yang ada di hadapannya itulah bersemayam jiwa yang telah matang. Hati Gus Dur telah menjadi hati orang-orang yang ditinggalkan dan dicintainya. Gus Dur telah membagi cinta kepada mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya dan tanpa gantungan.
“Ia (Gus Dur) yang bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya hasrat rendah apa pun dan tak tergantung pada siapa pun, kecuali kepada Tuhan. Ia yang tak pernah peduli dengan gelar-gelar kehormatan yang dianugerahkan dunia kepadanya,” kata Buya Husein.
Selain itu, Buya Husein memandang Gus Dur sebagai sosok yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman. Namun Gus Dur bisa tetap bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya.
“Ia (Gus Dur) yang tak pernah gentar untuk melawan setiap tangan tirani dan korup. Ia yang tak mau kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran orang kepadanya,” pungkas Buya Husein.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF