Ketika Santri Diuji Baca Kitab Fathul Wahab dengan Tanya Jawab Full Bahasa Arab
Sabtu, 4 Oktober 2025 | 13:00 WIB
Rabiatul Adawiyah, peserta MQKN Ke-8 Majelis Bahtsul Kutub asal Ma'had Aly Salafiyyah Syafiiyyah Situbondo, di Ma'had Aly As'adiyah Sengkang, Wajo, Sulaesi Selatan, Jumat (3/10/2025). (Foto: NU Online/Saiful Amar)
Wajo, NU Online
Fathul Wahab merupakan kitab fiqih tingkat tinggi yang dipelajari santri pesantren. Kitab dua jilid karya Syekh Zakariya Al-Anshari itu dikaji oleh santri-santri khusus. Kitab ini diperlombakan dalam Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional Ke-8 tahun 2025 untuk majelis bahtsul kutub yang diikuti mahasantri Ma'had Aly.
Para peserta diuji dengan beragam pertanyaan mulai dari tata bahasa Arab, pemahaman atas teks, hingga kontekstualisasinya. Tidak hanya itu, peserta dalam hal ini harus menjelaskan dan menjawab pertanyaan dewan hakim dengan bahasa Arab.
Tak pelak, persiapan bahasa Arab ini menjadi fokus Robiatul Adawiyah untuk mengikuti MQKN Ke-8 ini. “Persiapan kami seperti biasa, belajar memaknai kitab dan juga melatih bahasa Arab. Karena memang lombanya menggunakan bahasa Arab,” ujarnya saat ditemui di Ma'had Aly As'adiyah Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan, Jumat (3/10/2025).
Santri Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo itu harus membagi fokusnya dalam persiapan. Pasalnya di waktu yang sama, ia juga harus menghadapi ujian di pesantrennya.
“Agak kurang persiapannya, karena bertepatan dengan ujian kampus. Jadi, yang paling rutin ya latihan berbicara bahasa Arab setiap hari,” tambahnya.
Fathul Wahab itu sudah rampung dikajinya. Karenanya, penjelasan dan tanya jawab dengan bahasa Arab itu yang menjadi tantangannya.
“Alhamdulillah, konten kitab sudah khatam. Yang lebih sulit itu bahasa Arabnya. Karena meski memahami isi, tapi kalau kurang terbiasa dengan bahasanya, jadi kendala,” kata dara asal Bali yang menghabiskan waktu di pesantren hampir 10 tahun itu.
Sementara itu, Hakim bidang Bahtsul kutub KH Fadholan Musyafa menyampaikan, penggunaan bahasa Arab secara penuh dalam majelis tersebut menjadi motivasi besar bagi para santri. Sebab, santri tidak hanya dituntut berbahasa Arab secara pasif, tetapi juga perlu untuk aktif mempertahankan argumen dengan bahasa Arab.
Bahkan, beberapa sesi ia sebut bukan lagi dengan istilah tanya jawab, melainkan debat antara dewan hakim dan peserta dengan sepenuhnya dalam bahasa Arab. Hal ini menegaskan kualitas dan kualifikasi peserta yang semakin tinggi.
“Semua berbahasa Arab, baik majelis maupun peserta. Mereka menjawab dengan mukalamah bahasa Arab yang mendalam. Ini bukan sekadar memahami teks, tapi juga melatih totalitas dalam berdialog dengan bahasa Arab,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa para peserta tidak hanya mampu membaca dan memahami teks, tetapi juga menafsirkan secara mendalam hingga mempraktikkannya dalam konteks kehidupan nyata.
“Peserta sangat baik, mereka tidak hanya membaca, tapi juga memahami dengan sangat baik. Bahkan, mereka mampu melakukan tatbik dengan taswir dan tamtsil sesuai konteks. Ini bukti kitab kuning masih hidup di pesantren kita,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang, Jawa Tengah itu.