Ketua Asosiasi Ma'had Aly Sebut Banyak Pihak Belum Paham UU Pesantren
Rabu, 30 November 2022 | 22:00 WIB
Jombang, NU Online
Ketua Asosiasi Ma'had Aly Indonesia (Amali) KH Nur Hannan menyesalkan masih banyak pihak yang belum paham UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019. Sehingga berdampak pada pengakuan ijazah lulusan Ma'had Aly.
Ma'had Aly merupakan pendidikan khas pesantren yang memiliki landasan hukum berupa UU Pesantren No 18 Tahun 2019, Peraturan Menteri Agama No 31 Tahun 2020, dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag No 2669 Tahun 2021.
Lulusan dari pendidikan pesantren dan Ma'had Aly ketika melanjutkan ke jenjang umum yang lebih tinggi sering dipersulit. Pasalnya, ijazah yang dikeluarkan pesantren tidak diakui oleh jalur formal.
Hal ini disampaikannya saat acara sosialisasi Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 oleh Majelis Masyayikh Pesantren di aula gedung Yusuf Hasyim lantai tiga Pesantren Tebuireng, Jombang, Selasa (29/11/2022).
“Ada lulusan Ma'had Aly yang mengajar di SMA (Sekolah Menengah Atas) atau MA (Madrasah Aliyah), mereka belum bisa memasukkan ijazah ke dapodik (data pokok pendidik). Jadi, riwayat ijazah Ma'had Aly belum terakomodir di situ,” jelasnya.
Menurut Kiai Hannan, situasi tersebut sudah disampaikannya ke Majelis Masyayikh untuk segera ditindaklanjuti agar tidak merugikan lulusan Ma'had Aly Hasyim Asy'ari.
Padahal di UU Pesantren sudah sangat gamblang bahwa lulusan pesantren memiliki hak yang sama. Di antaranya bisa melanjutkan pendidikan di jenjang lebih tinggi, baik sejenis maupun tidak sejenis. Kedua, berhak mendapatkan kesempatan kerja. Poin itu ada di undang-undang.
“Sebenarnya persoalan utama bukan pada regulasi. Tapi, mungkin pada sosialisasi UU Pesantren yang belum dipahami oleh pihak lain. Sehingga kemudian belum bisa mengakui ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren semisal Ma'had Aly,” tegasnya.
Oleh karena itu, Kiai Nur Hannan meminta Majelis Masyayikh Pesantren juga melakukan sosialisasi UU Pesantren ke instansi pemerintah, instansi pendidikan lainnya, dan masyarakat luas. Tidak hanya dilakukan di lingkungan pesantren saja.
“Kita perlu mengawal UU Pesantren. Jangan sampai ini hanya jadi hiburan semata. Di beberapa tempat masih ada kelompok yang belum paham UU Pesantren dan beberapa lulusan Ma'had Aly dipersulit,” ungkap Kiai Hannan.
Kiai Hannan menambahkan, setelah adanya UU Pesantren, baiknya pendidikan formal maupun non formal yang ada di pesantren, paling tidak diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pesantren.
Kalau tidak, maka keterbatasan anggaran yang diberikan kepada lembaga di direktorat di bawah ditjen tidak akan memenuhi kebutuhan pesantren di Indonesia. Selama ini, pendidikan pesantren berada di bawah direktorat. Pendidikan diniyah dan ma'had aly berada di bawah sub direktorat.
“Akibatnya anggarannya terbatas, SDM-nya sangat sedikit. Sehingga ada bantuan yang seharusnya bisa diberikan, tapi tidak bisa. Itu masukan yang kita sampaikan,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Pesantren Putri Tebuireng KH Fahmi Amrullah Hadziq meminta sosialisasi UU Pesantren juga menjangkau pesantren-pesantren kecil di Indonesia. Tidak hanya pesantren besar.
“Pesantren bukan hanya pesantren besar, yang pengasuhnya sudah paham. Pesantren kecil juga termasuk pesantren. Terkadang pesantren kecil tidak sempat memikirkan tentang undang-undang pesantren,” tandasnya.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Musthofa Asrori