Ketua PBNU: Kritik soal Konsesi Tambang adalah Sesuatu yang Baik
Kamis, 27 Juni 2024 | 10:25 WIB
Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Foto: tangkapan layar siaran langsung Diskusi Polemik Pemberian Izin Pengelolaan Tambang kepada Ormas Keagamaan di Ruang Rapat Komisi 9 DPR RI, Rabu (26/6/2024)
Jakarta, NU Online
Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla menyampaikan, kritik di berbagai pihak terhadap PBNU yang menerima program konsesi tambang untuk ormas keagamaan, adalah sesuatu yang baik.
"Termasuk kritik-kritik sangat keras sekali itu bagian dari dinamika sosial politik, yang bagi saya itu sangat baik," katanya pada Diskusi Polemik Pemberian Izin Pengelolaan Tambang kepada Ormas Keagamaan di Ruang Rapat Komisi 9 DPR RI, Rabu (26/6/2024).
Kiai yang akrab disapa Gus Ulil itu menyampaikan bahwa kebijakan tersebut sebagai drive thru policy atau terobosan kebijakan. Selain itu, kebijakan tersebut merupakan langkah berani.
"Saya menganggap (izin pengelolaan tambang) terobosan yang baik, cukup berani dan insyaallah membawa kemaslahatan yang cukup besar," katanya.
Dalam kesempatan itu juga, Gus Ulil juga menambahkan alasan pemberian tambang itu lahir dari beberapa dasar pemikiran, salah satunya adalah affirmative policy. Hal itu didefinisikan sebagai kebijakan yang tujuannya untuk membantu golongan-golongan di masyarakat yang selama ini tertinggal, belum terfasilitasi, dan perlu diadvokasi.
"Affirmative policy ini dalam studi-studi mengenai kebijakan publik, itu bukan sesuatu yang aneh, di mana pun ada kebijakan yang bersifat afirmatif ini," ungkapnya.
Lebih jauh tentang affirmative policy, Gus Ulil menambahkan bahwa kebijakan tersebut selalu menimbulkan kontroversi sesaat sebelum pemberlakuannya karena hal itu berdampak pada salah satu pihak yang akan dirugikan.
"Salah satu watak atau nature affirmative policy adalah memberikan "pertolongan" terhadap golongan tertentu untuk mendapatkan akselerasi (percepatan)," jelasnya. "Kadang-kadang akselerasi ini dilakukan dengan cara membebaskan kelompok-kelompok yang ingin ditolongnya untuk mengikuti proses yang sifatnya terbuka," sambungnya.
Gus Ulil tidak menghiraukan pertanyaan yang timbul selepas adanya affirmative policy. Ia mencontohkan salah satu kasus di Amerika yang menerapkan affirmative policy untuk orang-orang hitam selalu mendapatkan resistensi yang kuat dari kalangan kulit putih.
"Apakah adil suatu kelompok atau golongan diberikan affirmative policy. Apakah tidak merugikan kelompok lain?" terangnya.