Ketua PBNU Tanggapi Menteri Agraria yang Sebut Warga Rempang Tak Miliki Sertifikat Lahan
Ahad, 24 September 2023 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) mengkritik Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto yang menyebut warga Rempang, Batam tak memiliki sertifikat kepemilikan lahan.
"Negara jangan hanya ngomong warga enggak punya sertifikat tanah. Kewajiban negara menciptakan taraf hidup yang baik untuk rakyatnya. Kalau rakyat sebelumnya sudah punya pekerjaan di situ kemudian diusir begitu saja artinya negara tidak menaati wajib konstitusi. Ini bertentangan," ujar Savic kepada NU Online, Sabtu (23/9/2023).
Menurut Savic, dalam kasus Rempang bukan semata kepemilikan tanah. Banyak warga yang tidak memiliki tanah namun telah lama bekerja di Rempang. Ini, tidak bisa dipindahkan begitu saja, negara harus membuat aturan yang mengikat.
"Jadi terhadap warga yang mungkin bekerja tidak memiliki tanah juga harus ada klausul-klausul yang baik yang ditawarkan. Sementara warga asli bertahun-tahun punya tanah, enggak boleh diambil paksa. Ini negara harus memikirkannya," kata Savic.
Sebelumnya, bentrok terjadi antara warga Pulau Rempang, dengan tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan BP Batam, dan Satpol PP.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
"Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam," ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (14/9/2023).
Hadi menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan HPL dari BP Batam.
Sementara itu, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran, tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.
"Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002," kata Mahfud MD.
Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain. "Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah," kata Mahfud MD.