Ketum Fatayat NU: Ruang Politik Perempuan Harus Diciptakan Bersama
Selasa, 6 Juni 2023 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pemenuhan target keterwakilan perempuan di parlemen yang belum mencapai 30 persen menjadi tantangan yang dihadapi setiap pemilu, termasuk pada Pemilu 2024. Persoalannya, tidak hanya pada minimnya kualitas dan kompetensi perempuan dalam politik, tetapi juga budaya patriarkal yang belum ramah terhadap perempuan.
Ketua Umum PP Fatayat NU Margaret Aliyatul Maimunah menjelaskan dari sisi kuantitas dan kualitas keterwakilan perempuan sampai hari ini belum mencapai target yang diharapkan.
"Kalau bicara keterwakilan perempuan diposisi strategis berdasarkan politik, baru bisa tercapai sekitar 20 persen. Ini belum memenuhi target 30 persen," kata Margaret kepada NU Online, Selasa (6/6/2023).
Menurut Margaret, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi minimnya keterwakilan perempuan dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Pertama, jumlah perempuan yang memiliki pengetahuan, kualitas, dan kompetensi masih sedikit. "Kita perlu mendorong perempuan supaya memiliki kualitas dan kompetensi dengan cara menghadirkan dan memfasilitasi penyelenggaraan seminar, workshop, sekolah yang memberi penguatan politik," tegasnya.
Kedua, budaya politik di Indonesia masih patriarkal. Bagi Margaret, pengetahuan tentang kesetaraan dan keadilan gender penting dihadirkan agar para pemangku kebijakan memperhitungkan akses perempuan di dunia politik.
"Perempuan diakomodir dalam struktur politik tapi kalau rapat undangannya dimulai malam hari tentu menyulitkan perempuan karena budaya di Indonesia belum mendukung budaya perempuan," jelasnya.
Ketiga, mendorong perempuan masuk dalam budaya politik berspektif perempuan. Peneliti perempuan Women Research Institute (WRI) itu mendorong adanya pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender yang tidak hanya menggugah atau difokuskan kepada perempuan saja tapi juga laki-laki. "Tentu ini menjadi PR tersendiri," katanya.
"Kita tahu laki-laki sudah banyak yang berkecimpung di dunia politik. Perempuan masih banyak yang harus didorong untuk masuk dalam struktur politik," imbuhnya.
Sementara itu, penulis buku Feminisme Kritis, Amin Mudzakkir mengungkapkan, idealnya harus ada perempuan di parlemen baik sebagai wakil dari gender justice maupun dalam konteks integrasi. Namun tantangannya ada pada sistem kepartaian yang seringkali bersifat talk down.
"Sistem politik di Tanah Air masih feodal dan oligarki ini sebabkan keterwakilan perempuan rendah," bebernya.
Amin mendorong adanya reformasi sistem politik di Indonesia agar perempuan dan laki-laki bisa terlibat di parlemen. "Perlu penataan sistem politik agar lebih demokratis dan bisa diakses semua orang," tandasnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad