Ketum ISNU: Kiai Noer Iskandar Figur Santri Penakluk Jakarta
Ahad, 13 Desember 2020 | 16:15 WIB
Ketum PP ISNU Ali Masykur Musa (kedua dari kanan) dan Sekum PP ISNU M Kholid Syeirazi (paling kiri) saat sowan ke kediaman Wapres KH Ma'ruf Amin. (Foto: Dok. AMM)
Jakarta, NU Online
Ahad, 13 Desember 2020, pukul 13.43 WIB, umat Islam Indonesia kehilangan ulama lintas segmen kehidupan, KH Noer Muhammad Iskandar SQ. Almarhum merupakan alumnus Pesantren Lirboyo Kediri yang mampu menaklukkan Ibu Kota Jakarta.
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) Ali Masykur Musa kepada NU Online menyusul wafatnya Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta Kiai Noer Muhammad Iskandar, Ahad (13/12).
“Beliau menaklukkan Ibu Kota dengan mendirikan Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pada akhir 1970-an sangat sedikit santri yang berani merantau ke Jakarta dengan segala karakter yang keras, modernis, dan kosmopolitan,” kata Cak Ali, sapaan akrabnya.
Baca juga: Kiai Said tentang KH Noer Iskandar: Semua Diterima Baik Tanpa Ada Pembedaan
Menurut Cak Ali, Kiai Noer mampu menaklukkan Jakarta dengan bekal ilmu agama dari pesantren. Ilmu-ilmu pesantren oleh Kiai Noer disampaikan dengan cara modern dan metropolis sehingga kosakata ‘santri’ sangat familiar di Jakarta. Akibatnya, anak-anak muda Jakarta sudah mau menuntut ilmu di pesantren, baik ilmu agama maupun ilmu umum.
Selain itu, mursyid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Khalidiyah ini menyebut Kiai Noer sebagai tokoh yang mampu mencairkan sekat-sekat hubungan antara tokoh Islam yang moderat dan yang garis keras. Bahkan, kelompok budayawan dan artispun menjadi partner dakwah.
“Almarhum Gus Dur adalah karib beliau dalam berpolitik, begitu juga Rhoma Irama kawan berdakwah ke kalangan artis dan kaum milenial. Bahkan, dalam komunitas politik pun, Kiai Noer mampu membangun hubungan yang hangat dengan pemerintah dan antarfaksi politik. Sehingga Kiai Noer bisa diterima semua lapisan masyarakat,” sambungnya.
Patut bersedih
Terpisah, Sekretaris Umum ISNU M Kholid Syeirazi mengatakan, kita patut bersedih atas wafatnya ulama. Sebab, dengan wafatnya ulama berarti kita kehilangan salah satu mata rantai kita kepada Rasulullah SAW.
“Ulama itu penerusnya para Nabi. Mereka meneruskan ajaran Nabi melalui ilmu dan perbuatan. Nabi maksum, ulama tidak. Tanpa ulama, kita tidak akan mengenal Nabi dan ajarannya,” tulis Kholid di dinding Facebook-nya.
Menurut dia, ulama adalah sanad kita kepada Nabi. Kita tidak mungkin beragama tanpa ulama. Tanpa ulama, kita tidak mungkin mengenal isi Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, tradisi madzhab penting sekali. Madzhab adalah sanad kita mengenal ajaran Nabi. Jargon kembali kepada Qur’an-hadis mustahil tanpa sanad ulama.
Baca juga: Innalillahi, KH Noer Muhammad Iskandar SQ Tutup Usia
“Bukan hanya tidak tahu isi dan maknanya, bahkan tanpa ulama kita tidak bisa membaca Al-Qur’an. Atas kreativitas ulama, yang membuat titik dan harakat huruf Arab —sesuatu yang tidak diajarkan Nabi— kita bisa membaca Al-Qur’an, meski tidak tahu maknanya,” sambung Kholid.
Kholid lalu mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim yang artinya ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-Nya sekaligus. Tetapi, Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak lagi tersisa ulama, manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Ketika mereka ditanya, orang-orang itu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’
“Ketika ulama wafat, kita bersedih karena Allah sedang mencabut sedikit demi sedikit ajaran Nabi yang disiarkan oleh mereka. Dengan wafatnya ulama, kita semakin kehilangan pedoman untuk mengenali mana emas mana loyang, mana tuntunan mana tontonan, mana muballigh mana provokator. Semoga Allah jauhkan kita dari kesesatan,” pungkas alumnus Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak ini.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan