Nasional

Ketum PBNU Jelaskan Sejarah Awal Peringatan Maulid Nabi

Selasa, 19 Oktober 2021 | 19:45 WIB

Ketum PBNU Jelaskan Sejarah Awal Peringatan Maulid Nabi

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjelaskan bahwa orang yang pertama kali merayakan maulid Nabi adalah Khalifah Fathimiyah yang bernama Al-Mu’izz li Dinillah ketika baru datang dari Tunis, putra dari Abdullah al-Mahdi dari Dinasti Mahdawiyah yang juga dari Tunis.


“Jadi, yang pertama mengadakan maulid adalah Kalifah Fathimiyah pada 363 H, bukan Syamsud Daulah atas perintah Nidzamul Mulk. Kalau itu (Syamsud Daulah) yang (peratma kali) dari ahlusunnah,” terangnya saat mengisi acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw 1443 H di Masjid Istiqlal, pada Selasa (19/10/2021).


Dijelaskan Kiai Said, saat itu Khalifah Fatimiyah memasuki Mesir dan mengalahkan Dinasti Ibnu Thalun pada 361 H. Perintah pertama yang diinstruksikan Al-Mu’izz li Dinillah setelah itu adalah mendirikan masjid Jami’ Al-Azhar.


“Setelah mengalahkan Dinasti Ibnu Thalun, Al-Mu’izz li Dinillah mendirikan kota yang diberi nama Al-Qahirah, artinya yang menang. Lalu mengadakan Haflatul Maulid besar-besaran pada 363 H,” kata Pengasuh Pesantren Luhur Al Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan itu.


Sementara dari kalangan ahlusunnah, lanjut Kiai Said, pertama kali yang mengadakan perayaan Maulid Nabi adalah Syamsud Daulah atas perintah Nidzamul Mulk di Irak, sekitar tahun 500-an ketika sedang berkecamuk perang Salim. Peringatan maulid Nabi dirayakan secara besar-besaran, yang niatnya untuk mempersatukan umat Islam. 


Maulid Nabi merupakan bentuk pujian

Pada kesempatan itu, Kiai Said juga menyampaiak bahwa  Maulid Nabi merupakan kegiatan memuji-muji Nabi Muhammad, dan hal ini sudah dilakukan jauh sejak zaman Rasulallah masih hidup. Tercatat para sahabat yang berlomba-lomba memuji Nabi Muhammad, seperti Shafiyyah binti Abdul Muthallib, Hassan bin Tsabit, Sayyidina Ali, dan lain sebagainya. 


“Pujian-pujian itu dikumpulkan menjadi satu buku yang terdiri dari empat jilid oleh Syekh Yusuf an-Nabhani dengan judul Al-Madâ’iḫ an-Nabawiyyah,” terang Kiai kelahiran Cirebon, Jawa Barat itu.


Hanya saja, lanjut Kiai Said, pujian yang paling terkenal adalah syair-syair gubahan Ka’ab bin Zubair.


Kiai Said mengisahkan, suatu ketika Ka’ab mencaci maki Nabi Muhammad dengan keterlaluan. Kebetulan, kakaknya yang bernama Bujair sudah masuk Islam. Ka’ab berkata pada Bujiar, ‘Bujair, kamu itu kumpul-kumpul dengan Muhammad, dengan teman-teman Muhammad yang minum arak, mabuk. Kalau sudah Mabuk, Muhammad biasanya ngigau.”


Ucapan Ka’ab itu sampai terdengar ke telinga sahabat Nabi. Para sahabat pun meminta izin untuk mencari Ka’b dan membunuhnya jika sudah ketemu. “Anehnya, Nabi mengizinkan. Para sahabat pun mulai mencari Ka’ab,” imbuh Kiai Said.


Kabar pemburuan itu ternyata terdengar oleh Ka’ab sebelum ia tertangkap. Segera ia menyamar menemui Rasulullah di Madinah dengan wajah ditutupi syal berwarna merah. Begitu bertemu Rasulullah dan yakin bahwa Nabi tidak mengenalinya. Ka’ab berkata pada Nabi:


“Katanya kau sedang mencari Ka’ab bin Zuhair, kalau dia datang ke sini dan minta maaf, engkau maafkan enggak?”


“Saya maafkan,” jawab Rasulullah. “Kalau dia masuk Islam, apakah kamu percaya?” lanjut Ka’ab. “Saya percaya,” jawab Rasulullah.


Ka’ab pun membuka syalnya dan mengaku bahwa dirinya adalah Ka’ab yang sedang Nabi cari. “Silakan, sayalah Ka’ab bin Zuhair yang engkau cari itu. Terserah mau kau apakan. Mau kau bunuh atau apa, terserah,” terang Ka’ab pasrah.


“Nabi tersenyum dan memaafkannya. Lalu Ka’b masuk Islam. Setelah menyatakan masuk Islam, segara ia mengeluarkan syair (pujian untuk Nabi),” pungkas Kiai Said.


Pewarta: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad