Ketum PBNU Sampaikan Urgensi Ajaran Moderat di Seminar Internasional
Rabu, 26 Januari 2022 | 18:30 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya (Foto: dok NU Online)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyampaikan, ajaran moderat terhadap pandangan dan interpretasi tentang Islam yang bervariasi antar akademisi, masyarakat dan ormas menjadi kebutuhan penting hadapi tantangan zaman saat ini.
Ia mengatakan, urgensi itu menjadi penting lantaran ajaran perdamaian akan mencapai keberhasilan jika dilakukan langsung dengan penerapan praktik yang baik.
"Interpretasi Islam sangat penting. Bagaimana agar bisa menerapkan best practice untuk mengayomi nilai-nilainya dengan konsep rahmatan lil alamin," kata Gus Yahya seminar internasional yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Selasa (25/2/2022).
Dalam seminar bertajuk Membangun Kerja Sama Internasional untuk Menguatkan Komitmen dan Praktik Islam Rahmatan Lil 'Alamin di Dunia itu, kiai kelahiran Rembang ini juga menerangkan bahwa stabilitas dan keamanan yang dihadapi saat ini adalah hasil dari tata kelola yang muncul sebelum perang dunia. Karenanya, menjaga keadilan bagi berbagai kelompok menjadi suatu keniscayaan.
"Stabilitas ini terjadi sebelum perang dunia. Jadi tidak ada campur tangan Indonesia, Malaysia, maupun Tunisia. Tapi dalam menjaga kestabilannya harus dilakukan bersama-sama," terangnya.
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan bahwa saat ini dunia Islam sedang dihadapkan kedalam dua pilihan, yaitu: memilih kembali ke masa lalu, atau menerima perubahan baru.
"Tantangan yang dihadapi dunia Islam hari ini adalah memilih antara kembali ke masa lalu (peradaban masa lalu, khalifah universal) atau new order yang belum sempurna, dan berusaha memperkuat new order ini," jelas Gus Yahya.
"Kita perlu diskusi lagi tentang konsekuensi pilihan-pilihan ini," sambung dia.
Kemudian, ia menjabarkan konsekuensi atas kedua pilihan tersebut. Menurutnya, jika opsi pertama dipilih artinya sama dengan memilih untuk terus ikut ke peradaban sebelum perang dunia pertama.
"Berarti meminta untuk menghapus negara-negara termasuk Indonesia, Tunisia dan Malaysia. Diganti kekhalifahan universal. Anda bisa bayangkan konsekuensinya bagi manusia," papar Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah ini.
Pilihan kedua, tambah dia, tentu tidak mudah untuk diikuti karena tata kelola yang muncul setelah perang dunia kedua, yang saat ini mulai tererosi sehingga menyebabkan banyak ancaman bagi keamanan dunia. Bahkan mengancam peradaban global yang dihadapi saat ini.
"Ini yang perlu didiskusikan lebih lanjut dibanding harus debat berkepanjangan dengan tradisi klasik ajaran Islam. Karena yang dimiliki saat ini adalah momentum yang sangat menentukan," imbuh Gus Yahya.
"Banyak ancaman terhadap stabilitas global, sehingga harus ambil keputusan secepat mungkin," tandasnya.
Sebagai informasi, kegiatan seminar ini terselenggara atas kerja sama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhammadiyah, serta didukung juga oleh KBRI di Tunisia, Pakistan dan Malaysia.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan