KH Miftachul Akhyar Sebut Orang Tak Bisa Khusyuk karena Dunianya Terlalu Banyak
Jumat, 29 Maret 2024 | 15:00 WIB
Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat mengisi kajian rutin Syarah Al-Hikam di Pesantren Miftachus Sunnah, pondok asuhannya di Surabaya. (Foto: Tangkapan layar Youtube Multimedia KH Miftachul Akhyar)
Jakarta, NU Online
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menyebut bahwa salah satu faktor yang menyebabkan seseorang tidak bisa khusyuk beribadah kepada Allah swt adalah terlampau banyak dunia yang dimiliki. Alih-alih khusyuk, bila terlalu banyak harta benda, isi pikirannya hanyalah soal dunia.
"Orang yang tak bisa khusyuk karena dunianya terlalu banyak," katanya saat ngaji Syarah Al-Hikam sebagaimana dalam video pada Channel Youtube Multimedia KH Miftachul Akhyar diakses NU Online, Jumat (29/3/2024).
Orang yang mempunyai harta melimpah jangan dikira bakal selalu hidup enak. Bisa saja, harta-hartanya itu justru membuat hidupnya tidak tenang dan pikirannya selalu waswas akan hartanya diambil orang atau bisnisnya tidak lagi memberikan dampak ekonomi yang menjanjikan.
"Rumahnya banyak, mobilnya banyak, pabriknya banyak, bagaimana bisa khusyuk. Pikirannya ke mana-mana," ujar pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya, Jawa Timur ini.
Menurut Kiai Miftach, sapaan akrabnya, manusia bukan berarti tidak butuh dunia. Dunia tetaplah penting untuk tujuan akhirat. Namun yang perlu diingat, hidup di dunia kadang tidak selalu berpihak, usia manusia juga tidak bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri. Manusia pada saatnya semua akan kembali kepada zat yang menciptakan, Allah swt.
Karena itu, orang yang diberikan Allah rezeki lebih, hendaknya berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas ubudiyahnya kepada yang memberi rezeki. Hatinya juga harus khusyuk beribadah kepada Allah swt.
"Kalau tidak punya apa-apa tidak ada yang dipikir. Itu lebih bagus. Lebih bagus lagi, pabriknya banyak, mobilnya juga banyak, rumahnya di mana-mana, tapi hatinya khusyuk tidak kumantil. Ini garapan yang sebenarnya," ungkap Kiai Miftach.
"Jangan diartikan hatinya ingat akhirat, tidak ingat dunia, lalu mengabaikan dunia. Tidak! Urusan dunia kewajiban. Bagaimana kita menjadi pelayan dunia ini. Melayani umat," lanjut Kiai Miftach.
Kendati demikian, Kiai Miftach mengingatkan, dunia harus diletakkan di tangan bukan di hati. Karena kalau di hati, ia akan terlampau cinta dunia. Berbeda saat dunia diletakkan di tangan, pemiliknya harus siap kapan saja melepaskan dunia itu.
Pada kesempatan ini, Kiai Miftach juga mengajak kepada jamaahnya mengoreksi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam dirinya setelah sekian lama mengerjakan berbagai macam beribadah.
"Coba dirasakan, panjenengan sudah berapa puluh tahun ibadah, puasa, shalat. Kalau usia 60 tahun, sudah berapa tahun ibadah yang kita dilakukan. Ada tidak rasa halawah rasa manis dalam ibadah, ada tidak perubahan, ada tidak rasa menerima perintah itu ada nilai tambahnya?" tanya Kiai Miftach.
Kalau tidak ada perubahan, lanjutnya, maka harus ada hal yang harus dikoreksi. Di antara yang perlu dikoreksi adalah hatinya yang mungkin terlalu cinta terhadap dunia. Hal ini bisa mengganggu kualitas ibadah kepada Allah sehingga tidak pernah khusyuk.
"Ada apa sebenarnya. Kok selama ini masih sama saja seperti ini. Kering tidak ada nilai tambah. Ini harus dicurigai," pungkas Kiai Miftach.