Khidmah Pengurus NU dan Bait Syair Alfiyah menurut Kiai Miftah Faqih
Ahad, 30 Oktober 2022 | 07:00 WIB
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftah Faqih saat memberikan arahan pada Mukerwil PWNU Lampung di Hotel Horizon Bandarlampung, Sabtu (29/10/2022). (Foto: NU Online/Faizin)
Bandarlampung, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftah Faqih mengingatkan bahwa dalam berkhidmah, seluruh pengurus NU seyogianya mengingat dan mengaplikasikan makna mendalam dari salah satu bait Nadzam Kitab Alfiyah Ibnu Malik yakni "Bil jarri wat tanwini wan nida wa al - wa musnadin lil ismi tamyizun hashal."
Bait ini menurutnya menggambarkan cara bagaimana menjadi pribadi yang unggul. Hal ini penting dimiliki pengurus NU dalam melakukan khidmah secara maksimal sehingga visi dan misi NU bisa terealisasi.
Pertama adalah dengan bil jarri yang bisa diartikan memiliki sifat tawadu atau rendah hati. "Dengan tawadu ini pasti ada kejujuran," kata Kiai Miftah saat memberi pengarahan pada Musyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) Ke-4 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) di Hotel Horizon, Bandarlampung, Sabtu (29/10/2022).
Kedua adalah dengan tanwin yang merupakan simbol keterbukaan. Sifat terbuka ini menurutnya merupakan sifat positif karena mengandung sifat inklusif, informatif, transparan, dan mampu hidup dengan orang lain secara baik.
"Mustahil siapa pun yang memiliki kerendahan hati itu tidak transparan di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,” ungkapnya pada Muskerwil yang mengangkat tema Memperkuat Khidmah Jam’iyyah dalam Menyongsong Saru Abad Nahdlatul Ulama ini.
Ketiga adalah nida yang dimaknai menjadi sosok yang promotif. Jadi dalam berkhidmah, pengurus NU harus mampu menjadi individu yang senantiasa mempromosikan hal yang baik dan selalu menjadi garda terdepan dengan identitas yang jelas.
"Maka dia berani menyatakan nida, ajak-ajak memanggil yang lain. Untuk kolaborasi bukan kompetisi," katanya.
Keempat adalah Al yang dimaknai sebagai pengambilan keputusan yang jelas dan tegas. Sikap ini tidak boleh diartikan sebagai arogan namun berarti definitif yang semuanya diambil dari hasil permusyawaratan.
Baca Juga
5 Falsafah Hidup Masyarakat Lampung
"Putusan-putusan strategis bukan dalam rangka cari menangnya tapi bagaimana Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (Mencegah kerusakan harus didahulukan dari mengambil maslahat)," ungkapnya.
Kelima adalah musnadin lil ismi yang dimaknai kesadaran bahwa pengurus NU adalah penerima mandat. Maka agar tidak salah dalam menjalankan mandat, pengurus NU harus tahu tujuan dari menjadi pengurus NU.
"Ketika kita (pengurus NU) lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan pribadi kita, maka saat itulah kita sebenarnya sudah turut serta meredupkan cahaya Allah di muka bumi ini," katanya.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan