Kiai Hasan Genggong Tegur Putranya yang Hendak Keluar dari NU
Jumat, 7 Juli 2017 | 10:00 WIB
Haul ke-62 KH Muhammad Hasan yang digelar di Masjid Jami' Al Barokah Genggong, Rabu (5/7) pukul 08.30 WIB, mengundang antusiasme kaum Muslim. Ribuan masyarakat hadir memadati kawasan Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Jawa Timur. Haul KH Muhammad Hasan Genggong selalu diperingati setiap 11 Syawal.
Di antara ribuan jamaah itu, tampak sejumlah pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong. Di antaranya, KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah, KH Moh Hasan Syaiful Islam, KH Moh Hasan Naufal, KH Moh Hasan Zidni Ilman, serta sejumlah tuan rumah lainnya. Serta hadir pula Habib Hadi bin Ahmad Assegaf.
Acara dibuka dengan pembacaan Shalawat Nabi yang dibawakan oleh para Habaib, dan shahibul bait yang diiringi hadrah Al-Hasanain. Para jamaah khidmat mengikuti rangkaian acara sampai penghujung acara.
KH Moh Hasan Saiful Islam dalam sambutannya, banyak menceritakan keistimewaan-keistimewaan almarhum KH Muhammad Hasan semasa hidupnya. Menurutnya, Kiai Sepuh—sapaan akrab KH Muhammad Hasan semasa hidupnya—adalah sosok panutan di zamannya.
Kiai Hasan dilahirkan pada 27 Rajab 1840 hijriyah di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo. Tanda-tanda keistimewaan Kiai Sepuh sudah tampak saat masih di dalam kandungan sang ibu. "Istri Kiai Syamsuddin waktu hamil pernah bermimpi menelan bulan, ini menandakan janinnya kelak akan menjadi orang mulia," terang Kiai Saiful Islam.
Ayah Kiai Sepuh, Kiai Syamsuddin yang lebih akrab disapa Kiai Miri, adalah seorang pembaca sejarah Nabi dan para wali. Pernah suatu ketika Kiai Miri ceramah di daerah Condong, dan pulang terlalu larut malam, di jalan mendaki Kiai Miri melihat cahaya dari kejauhan yang memancar dari arah timur. "Ternyata pancaran sinar itu dari rumahnya, cerita ini menurut KH Maksum, Sentong," jelas Kiai Saiful Islam. "Ketika Kiai Miri sampai di rumah, Kiai Sepuh sudah lahir," lanjut Non Beng, sapaan karib Kiai Saiful Islam.
Menurut Kiai Saiful Islam, Almarhum Kiai Hasan sepuh adalah salah satu santri angkatan pertama Kiai Kholil, Bangkalan, Madura. "Pada tahun 1860, almarhum ikut membantu mendirikan pondoknya Kiai Kholil," terangnya.
Saat menjadi santri Kiai Nawawi Banten di Mekkah, Kiai Sepuh bermimpi berjumpa Rasulullah. Dalam mimpinya, ia memohon agar Nabi Muhammad SAW menginjak kepalanya, sebagai andalan kelak di akhirat. "Rasul bersedia menginjak kepala Almarhum Kiai Sepuh," jelas Non Beng.
Pada tahun 1952, Jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU) keluar dari partai Masyumi, yang ketika itu mewadahi organisasi massa Islam. Kiai Asnawi, putra Kiai Sepuh, kecewa terhadap Kiai-Kiai NU karena menganggap telah keluar dari barisan Islam yaitu Masyumi. Lalu Kiai Asnawi protes kepada Kiai Sepuh dan bahkan Kiai Asnawi menyatakan akan keluar dari NU. "Jangan kecewa kepada NU nak, jangan keluar. NU adalah Jam'iyah yang diridhai (Allah)," dawuh Kiai Sepuh seperti yang ditirukan oleh KH Moh Hasan Saiful Islam.
Pada zaman penjajahan Belanda, Kiai Sepuh pernah didatangi tamu Van Der Plas dan rombongan. Dalam buku sejarah disebutkan dia pernah menjabat sebagai gubernur Jawa Timur di era penjajahan Belanda. Van Der Plas sempat minta didoakan oleh Kiai Sepuh saat bertamu dan Kiai Sepuh mendoakannya.
Kiai Hasan Saifouridzall yang melihat hal tersebut merasa aneh dan bertanya pada Kiai Sepuh. Ia menjawab doa tersebut adalah doa qunut. "Doa qunut ini tujuannya agar Van Der Plas dan rombongannya mendapat hidayah," jelas Non Beng.
Saat mengisi pengajian kitab tafsir di bulan puasa pada tahun 1955, Kiai Sepuh mengatakan bahwa santri kembali ke pondok Genggong kala itu diganti tanggal 10 Syawal yang biasanya tanggal 15 Syawal karena menurut Kiai Sepuh tanggal 11 Syawal akan ada pengajian besar. "Ternyata pada pada tanggal 11 Syawal tersebut Kiai Sepuh wafat. Beliau wafat di tengah-tengah santri yang sudah kembali ke pesantren," jelas Non Beng.
Kiai Saiful Islam mengimbau para jamaah agar menjaga putra-putrinya sejak dini dari kenakalan remaja, seperti memakai narkoba, miras, geng, begal dan lain-lain yang kian meresahkan masyarakat. "Awas anak kita itu titipan dari Allah, karena orang tuanya yang bertanggung jawab nanti di hadapan Allah SWT," tegasnya. (Red: Mahbib)