Kiai Moqsith: Akhir Ramadhan, Jaga Lisan, Berdoa untuk Kebaikan Dunia Akhirat
Rabu, 12 Mei 2021 | 14:45 WIB
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, KH Abdul Moqsith GhazalI, mengatakan bahwa puasa Ramadhan adalah ibadah yang bersifat fisik. Berbeda dengan ibadah fisik seperti haji dan umrah yang termasuk fisik aktif karena mengharuskan beberapa ritual, ibadah puasa tergolong ibadah fisik pasif.
Hal itu ditandai dengan tidak dibolehkannya bagi orang yang berpuasa makan, minum, ataupun berhubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan. Ibadah puasa Ramadhan juga tidak memerlukan biaya. Ini lagi-lagi berbeda dengan ibadah fisik seperti haji ataupun umrah yang memerlukan biaya.
“Ada di dalam ibadah Islam itu ibadah fisik atau jasmani yang mengandung ibadah mali, ibadah haji unsur jasmani, dan juga mengandung biaya. Ibadah puasa adalah ibadah jasmani tapi pasif, tidak boleh makan, minum, berhubungan suami istri. Itulah kebanyakan puasa kita,” kata Kiai Moqsith saat mengisi Pesantren Ramadhan yang diadakan Majelis Telkomsel Taqwa, Rabu (12/5).
Namun, ibadah puasa tidak sekadar menahan makan dan minum. Tingkatan yang lebih tinggi dari makan minum adalah, apakah anggota tubuh sudah ikut berpuasa? “Apakah lisan kita sudah berhasil tidak ngrasani (bergosip) orang?” Kiai Moqsith mengajak merenung.
Pentingnya umat Islam apalagi yang menjalani ibadah puasa, Kiai Moqsith mengutip kitab Minhajul Abidin yang mengatakan zaman ini di mana orang diam lebih bagus daripada bicara.
Selain itu, lanjut Kiai Moqsith, Imam Syafi’i juga mengatakan jika umat Islam ingin hidup mulia, hidup yang selamat, agar menjaga lisan. “Jangan ngrasani aib orang karena kita juga memiliki aib, dan orang lain juga bisa bicara membongkar air kita,” tegasnya.
Ia mengingatkan cara atau tips ketika ada di antara kita yang akan membicarakan aib orang lain. “Jika matamu menyaksikan aib timbul dari orang lain (atau tampak di mata kita), maka jaga matamu dengan berkata wahai mata, orang lain juga melihat aib kita.”
Hal itulah, lanjut Kiai Moqsith, yang dinamakan bagaimana saat puasa tubuh juga aktif menjaga dari dosa-dosa.
Kiai Moqsith mengatakan hal itu memang mudah ketika diceramahkan. Akan tetapi, fitnah yang berbentuk menyebarkan aib orang lain. Bahkan, bisa muncul dari orang-orang yang disebut ulama. Hal itu juga sudah diprediksi, bahwa ketika kiamat akan datang, fitnah akan keluar dari lisan orang-orang yang disebut ulama, ialah dengan saling membuli, saling mencaci.
“Mungkin kita menyaksikan itu semua, misalnya, saat pilpres atau pemilu banyak fitnah keluar dari apa yang disebut ulama,” Kiai Moqsith menambahkan.
Fitnah dari orang-orang yang disebut ulama, kata dia, sebenarnya bukan baru terjadi di zaman ini. Bahkan, Imam Syafi’i juga pernah mengalami fitnah. Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang lahir di Jalur Gaza.
Ketika itu, ia dibawa ke Syam saat perjalanan bisnis keluarganya. Lalu Imam Syafi’i tumbuh dan belajar kepada Imam Malik di Madinah, bergerak menuju Baghdad, berguru dan belajar fiqih Hanafi.
Imam Syafi’i di Mesir berjumpa banyak ulama yang menggemari Imam Malik. Ternyata banyak pengikut Imam Malik yang merasa terancam dengan kehadiran Imam Syafi’i.
Hingga ada seorang ulama yang berdoa, “Ya Allah matikanlah Imam Syafi’i. Kalau Imam Syafi’i tidak mati, fiqih Imam Malik akan hancur dan punah.” Padahal Imam Syafi’i sendiri adalah murid dari Imam Malik.
Mengetahui hal itu, Imam Syafi’i merespons “Banyak orang yang berharap aku segera mati. Padahal kalaupun aku mati, itu adalah jalan yang bukan hanya dilalui olehku, tapi oleh semua orang.”
“Maka refleksi ini penting, bahwa kita hidup di dunia tidak abadi, hanya sebentar saja. Maksimal 100 tahun, lalu kembali menjadi unsur dari tanah kembali tanah, unsur air menjadi air, yang tulang akan hancur. Tidak ada keabadian,” lanjut Kiai Moqsith.
Karena itu, menurut Kiai Moqsith, sangat penting sepanjang Ramadhan umat Islam dididik oleh Allah untuk evaluasi diri. Bukan hanya tidak makan minum, namun mencegah bagaimana aktivitas fisik seorang Muslim agar tidak jatuh ke dalam dosa.
Bulan Ramadhan yang di dalamnya mengandung waktu-waktu mustajab untuk berdoa seperti hadirnya Lailatul Qadar, hendaknya diisi dengan doa-doa. Namun, doa yang dipanjatkan hendaknya bukan hanya terkait urusan dunia.
“Rugi kalau hanya berdoa urusan dunia saja. Minta mobil hanya urusan dunia, padahal kehidupan dunia hanya sebentar,” kata Kiai Moqsith.
Doa terbaik adalah yang terkait kebaikan dunia hingga akhirat, seperti rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah waqinaa adzaabannaar.
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori