Kiai Said Aqil Ungkap Sistem Pendidikan Pesantren Berdasarkan Al-Qur’an
Rabu, 13 Oktober 2021 | 06:15 WIB
Pengasuh Pesantren al-Tsaqafah, Jagakarsa, Jakarta Selatan itu memulai dengan mengutip Ayat Al-Qur’an.
هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ - ٢
Artinya: “Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jum’ah: 2).
Pertama, membacakan Al-Quran. “Langkah pertama kiai pesantren mendidik santrinya, yatlū ‘alaihim āyātihi, seperti Nabi Muhammad juga demikian: menyampaikan, memperdengarkan ayat Al-Qur’an kepada bangsa Arab, kemudian sebagian besar masuk Islam setelah mendengarkan ayat Al-Qur’an itu,” terangnya, dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw dan Haul Masyayikh Pondok Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (12/10/2021) malam.
Para kiai di pesantren, lanjutnya, juga sama. Ketika santri pertama kali masuk pesantren dididik menjadi pembaca, pecinta dan ahli Al-Qur’an. Termasuk membaca Al-Qur’an dengan tilāwah mujawwadah.
Kiai Said mengaku sedih dan kecewa jika ada orang ceramahnya bagus, tapi begitu membaca ayat Al-Qur’an plentang-plentong. “Khatib Jum’at baca khutbahnya enak tapi baca ayat Qur’annya salah semua, itu yang kita paling sedih. Jelas bukan keluaran pesantren, jelas bukan jebolan pesantren,” ungkapnya.
Di pesantren, sambungnya, pertama kali dikenalkan kepada santri adalah qira-atul Qur’an, tilāwatul Qur’an, tilāwah mujawwadah. Kemudian bagaimana memahaminya, diajari Tafsīr Jalālain, untuk memperkenalkan kepada santri-santri yang masih baru masuk itu dengan tafsir yang paling mudah dulu.
“Apalagi kalau di Rembang ini ada Tafsir al-Ibriz, tulisan almarhum almaghfurlah KH Bisri Mustofa. Itu sangat manfaat, sangat beguna sekali, terutama bagi para ibu-ibu, para masyarakat, yang tidak mampu bahasa Arab, menggunakan bahasa Jawa. Luar biasa manfaatnya. Itu artinya apa? Kita sudah melaksanakan step pertama, yaitu yatlu a’aihim aayaatih. Panjang lebar kalau saya menerangkan ini, enggak cukup waktunya,” ungkap alumnus Universitas Ummul Qura, Makkah ini.
Kedua, membersihkan hati (wa yuzakkīhim). Menurut Kiai Said, setelah santri itu mampu membaca Al-Qur’an dengan benar, para kiai menjadikan atau mengupayakan tazkiyatu qulūbihim, tazkiyatu angfusihim, tathiru qulūbihim, agar santri mempunyai kepribadian yang mulia, hati yang bersih, jiwa yang bersih.
“Itu namanya tazkiyyah, wa yuzakkihim. Sebelum mendapat ilmu pengetahuan, sebelum mendapatkan skill, santri digembleng agar punya kepribadian yang besar, yang mulia, yang terpuji,” jelasnya.
Lebih lanjut, alumnus Pesantren Lirboyo itu menjelaskkan bahwa kita semua punya hawa nafsu ghadabiyah dan syahwatiyah. Ia mengajak me-manage hawa nafsu itu di pesantren, sehingga nafsu ghadabiyahnya menjadi himmah, nafsu syahwatiyah-nya menjadi ‘azimah. Menuerutnya, Rasulullah saw seorang yang himmah-nya besar: Muhammadun qaimun lillahi dzu himami, Muhammadun khatamun lirrusli kullihimi. Muhammadun tsabitul mitsaqi hafidzuhu, Muhammadun shadiqul aqwali wal kalimi.
“Nabi Muhammad itu orang yang himmah-nya besar. ‘Saya orang yang harus berjuang untuk Islam dan harus berhasil. Harus sukses.’ Itu namanya himmah, bukan nafsu ghadabiyah. Begitu juga para sahabat, para ulama, Walisongo, pendiri NU, orang-orang yang himmah-nya besar. Kalau tidak besar, tidak mungkin NU terbesar seperti sekarang ini. Itu berkat himmah-nya besar. Para santri harus punya himmah yang besar, cita-cita yang besar,” ajaknya.
Nafsu syahwatiyah, lanjutnya, dikelola di pesantren, dibentuk menjadi ‘azimah. “Saya harus kaya, saya harus berhasil. Itu ‘azimah namanya. ‘ala qadri ahlil ‘azmi ta’til ‘azaimu, wa ta’ti ‘ala qadril kiramil makarimu. Fatakburu fi ‘ainis shagiri shigharuha, wa tashgharu fi ‘ainil ‘adzimil ‘adzaimu, ” terangnya, sambil mengutip syair Abu Tayyib al-Mutanabbi.
“Mari kita memiliki azimah yang besar, menghadapi problem, masalah, kesulitan apa pun, ayo kita hadapi dengan besar hati. Insyaallah kemauan kita akan tercapai. Insyaallah kita mampu mencapai cita-cita, kemauan kita bersama, baik itu yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, maupun kehidupan ukhrawi. Masalah dunia maupun masalah agama, perlu kita mempunyai himmah dan ‘azimah. Wa yuzakkihim. Ini kalau saya terangkan panjang lebar, masih bicara tentang khawathir, yang masuk pada diri kita. Khawāthir ilāhiyah, khawāthir malakutiyah, khawāthir syaithāniyyah, khawāthir nafsaniyyah, panjang lebar kalau bicara ini, tidak ada waktunya,” kata Kiai Said.
Ketiga, mengajarkan kitab (wa yu’allimuhumul kitab). Ketika karakter santri sudah terbentuk, kata Kiai Said, pesantren harus ta’limul kutub, agar para santri itu mampu membaca kitab. Yaitu membaca kitab kuning atau kutubut turats.
“Kalau tidak mampu baca kitab kuning, bukan ulama, bukan kiai, bukan mu’allim, bukan mutafaqqih. Kalau belum mampu baca Kitab Fatkhul Mu’in seperti ini, bukan ulama, bukan kiai. Begitu saja, ukurannya gampang. Fatkhul Mu’in saja lah. Tidak usah Fatkhul Wahab. Tidak usah Majmu’, tidak usah. Fatkhul Mu’in saja. Itu baru lumayan itu, baru bisa dikatakan ulama,” ungkapnya.
“Ilmu-ilmu lain juga harus kita lengkapi. Alhamdulillah, banyak sekarang pesantren yang sudah melengkapi kurikulumnya di samping ulumuddin, tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqh, ilmu kalam, juga ada bahasa Inggris, sosiologi, antropologi, dan seterusnya lah. Itu penting sekali untuk menghadapi tantangan zaman yang kita hadapi ini. Itu wa yu’allimu humul kitab,” terangnya.
Keempat, terakhir, mengajarkan hikmah (wal hikmah). Menurut Kiai Said, di pesantren, hati, kepribadian dan jiwa para santri di-manage, dibangun, agar mendapatkan nūrun mubāsyir, yaqżifullah ‘ala qalbi man yasya’, mendapatkan cahaya, direct illumination dari Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.
“Hikmah itu bukan dari kitab, bukan dari belajar, bukan dari buku. Tapi hikmah adalah nūrun mubāsyir, cahaya langsung (yang) diberikan Allah kepada hati hambanya, siapa saja yang Dia kehendaki. Itu namanya hikmah, kebijakan, kearifan, sehingga dia mampu membawa dirinya di tengah-tengah masyarakat, selalu tepat, selalu benar, selalu cespleng. Itu hikmah namanya,” terangnya.
Dalam hal ini, ia mencontohkan Gus Dur. “Gus Dur selalu benar, selalu tepat. Mau dijebak, selamat. Mau kena fitnah, lolos. Mau diperangkap, tidak terperangkap. Mau ditipu, tidak tertipu. Itu namanya orang yang punya hikmah yang luar biasa. Contoh kecil saja itu. Barangkali contoh yang lebih luas lagi, para ulama, para aulia’ yang mempunyai ashhabul hikmah, yang mempunyai hati yang bersih, hati yang jernih, hati yang khusyu’,” jelasnya, diikuti mengutip ayat Al-Qur’an.
اَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللّٰهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّۙ وَلَا يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ - ١٦
Artinya: “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16).
Menurutnya, ayat ini menjelaskan hatinya orang Mukmin yang selalu dzikir kepada Allah, yang menjadi tempatnya kebenaran, wamā nazala minal haq, yang hati itu layak menjadi (tempat) bersemayamnya kebenaran. Wa haqqul haqāiq, puncaknya haq (kebenaran) adalah Allah SWT.
“Kasarnya begini: hatinya orang Mukmin yang dzikir kepada Allah, hatinya itu layak menjadi ‘tempat bersemayamnya Allah.’ Kira-kira begitu. Ini terjemahan kasar, jangan diartikan secara letterlijk,” ungkapnya, menjelaskan ayat di atas.
Kiai kelahiran 3 Juli 1953 ini mengungkapkan, bahwa para kiai di pesantren membentuk santri agar mempunyai hati yang khusyu’, yang selalu dzikir kepada Allah. “Bukan berarti selalu dzikir terus, tidak. (Tapi) hati itu ingat kepada Allah, dzikir qalbi, dzikir khaufi. Kemudian hati itu layak menjadi tempat ‘bersemayamnya Allah,’ tempat bersemayamnya kebenaran dan puncaknya kebenaran adalah Allahu Zātuhu. Itulah hati yang punya hikmah,” pungkasnya.
Selain Kiai Said, hadir juga Gus Ghafur Maimoen Zubair dan Gus Baha (KH Bahauddin Nur Salim) yang memberi ceramah di pesantren yang diasuh Gus Mus atau KH Ahmad Mustofa Bisri dan Gus Yahya (KH Yahya Cholil Staquf) itu. KH Said Asrori yang juga Rais Syuriyah PBNU didaulat keluarga untuk menyampaikan silsilah dan biografi singkat masyayikh Pesantren Leteh. Acara ini disiarkan secara langsung di akun Youtube Gus Mus Channel.