Nasional

Koalisi Disabilitas Desak Revisi KUHAP Ramah Penyandang Disabilitas

Senin, 29 September 2025 | 20:15 WIB

Koalisi Disabilitas Desak Revisi KUHAP Ramah Penyandang Disabilitas

Penyampaian pandangan dalam RDPU mengenai KUHAP tamah disabilitas. (Foto: tangkapan layar kanal Youtube TVR Parlemen)

Jakarta, NU Online

 

Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas mendesak agar revisi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat memberikan perlindungan dan akses yang setara bagi penyandang disabilitas.

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menekankan bahwa keberadaan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah memperkuat posisi kelompok disabilitas sebagai bagian dari warga negara. Menurutnya, mereka juga berpotensi berhadapan dengan hukum, baik sebagai saksi maupun korban.

 

"Ketika ada kewajiban bagi penyandang disabilitas, perlu difasilitasi pelaksanaannya, untuk menghadiri sebuah pemeriksaan, banyak hal yang perlu disiapkan, terkait mobilitas, bagaimana berkomunikasi dan lain-lain," kata Fajri dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (29/9/2025).

 

Ia menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya untuk taat hukum. Sebaliknya, negara dan aparat penegak hukum pun wajib melindungi mereka agar dapat menjalani proses hukum secara adil.

 

Saat ini, lanjut Fajri, masih banyak hambatan karena lingkungan hukum yang belum sepenuhnya aksesibel. Karena itu, revisi KUHAP diharapkan mampu menghapuskan berbagai hambatan tersebut.

 

"Perlu untuk difasilitasi agar penyandang disabilitas yang memberi kesaksian itu bisa untuk memberikan sebenar-benarnya dan juga memberikan kesaksian secara mandiri," ujarnya.

 

Dalam paparannya, Fajri merekomendasikan empat poin pokok revisi KUHAP yang ramah disabilitas. Pertama, pengakuan penyandang disabilitas sebagai saksi. Kedua, penyediaan akomodasi yang layak. Ketiga, kesetaraan bobot kesaksian. Keempat, penyesuaian definisi serta konsep hukum acara dengan perspektif disabilitas.

 

"Catatan kami, akomodasi yang layak ini bukan hanya sekedar prosedur administrasi, tapi dia adalah bagian dari hukum acara, dia adalah bagian di mana hak penyandang disabilitas bisa terfasilitasi untuk memberikan kesaksian, itu sangat menentukan," tegasnya.