Koalisi Disabilitas Nilai KUHAP Baru Diskriminatif, Stigmatis, dan Tak Akomodatif
Kamis, 20 November 2025 | 20:00 WIB
Jakarta, NU Online
Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Reformasi KUHAP menyatakan kekecewaan mendalam atas pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) oleh DPR RI pada Selasa (18/11/2025) lalu
Mereka menilai KUHAP baru masih memuat ketentuan diskriminatif, stigmatis, dan tidak akomodatif terhadap penyandang disabilitas, sehingga menunjukkan kegagalan negara menghormati dan melindungi hak kelompok rentan tersebut.
"Kondisi ini menunjukkan kegagalan serius dalam memastikan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak penyandang disabilitas, serta mengabaikan kewajiban negara untuk menjamin aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam proses peradilan pidana," katanya melalui keterangan yang diterima NU Online pada Kamis (20/11/2025).
Koalisi juga menyoroti definisi saksi dalam Pasal 1 angka 47 yang mensyaratkan kesaksian “yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Ketentuan ini dinilai mendiskriminasi penyandang disabilitas sensorik, khususnya tuli dan netra.
Koalisi juga menilai penjelasan Pasal 236 ayat (3) yang memberi kekhususan bagi penyandang disabilitas tidak memiliki kekuatan mengikat karena tidak dimuat sebagai norma dalam batang tubuh undang-undang. Hal ini dianggap menunjukkan sikap pembentuk undang-undang yang tidak memandang perlunya perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas.
"Pilihan memasukkan ketentuan itu dalam penjelasan menunjukkan bahwa pembentuk KUHAP tidak memandang adanya hak penyandang disabilitas yang harus dilindungi, dan itu merupakan sikap yang diskriminatif," jelasnya.
Lebih lanjut, Koalisi menyebut definisi saksi dalam KUHAP baru tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang menegaskan bahwa saksi tidak harus selalu mendengar, melihat, atau mengalami langsung suatu peristiwa pidana.
Selain itu, KUHAP baru juga dianggap stigmatis karena tetap mempertahankan penghapusan sumpah bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual melalui Pasal 221. Menurut Koalisi, ketentuan ini memperkuat asumsi keliru bahwa mereka tidak mampu memberikan kesaksian yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengabaikan relasi kuasa yang membuat mereka rentan terhadap eksploitasi.
"Pasal 146 juga menunjukkan bahwa ruh KUHAP masih memandang penyandang disabilitas mental dan intelektual sebagai objek penghukuman, bukan sebagai subjek hukum dengan kapasitas setara yang harus diberikan dukungan bukan digantikan, melalui pemosisian otomatis dalam skema perawatan atau rehabilitasi yang mengabaikan hambatan serta kebutuhan akan akomodasi yang layak di semua tahapan proses peradilan," jelasnya.
"Mempertahankan pendekatan medis-kuratif alih-alih pendekatan berbasis hak, RKUHAP pada akhirnya mengulang persoalan struktural KUHAP 1981 dan memperkuat hambatan sistemik yang selama ini menutup akses keadilan bagi penyandang disabilitas," tambahnya.
Koalisi juga mempersoalkan tidak digunakannya istilah kunci seperti Juru Bahasa Isyarat, akomodasi yang layak, pendamping penyandang disabilitas, dan penilaian personal dalam batang tubuh KUHAP. Ketiadaan istilah-istilah tersebut dinilai membuka potensi misinterpretasi yang dapat menghambat pemenuhan aksesibilitas dalam proses peradilan.
"Istilah lain yang tidak diakomodasi adalah akomodasi yang layak, pendamping penyandang disabilitas, dan penilaian personal," katanya.