Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Prabowo Lakukan Reformasi Polri, Harus Sistemik dan Struktural

Senin, 15 September 2025 | 17:00 WIB

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Prabowo Lakukan Reformasi Polri, Harus Sistemik dan Struktural

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (15/9/2025). (Foto: tangkapan layar Kanal Youtube Reformasi Polri)

Jakarta, NU Online

Rencana Presiden Prabowo Subianto membentuk komisi reformasi Polri mendapat sorotan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP).


Berbagai elemen masyarakat sipil menekankan bahwa reformasi Polri tidak boleh berhenti pada pembentukan tim independen semata, melainkan harus menyentuh akar masalah yang bersifat sistemik dan struktural.


Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta yang diakses NU Online melalui Kanal Youtube Reformasi Polri pada, Senin (15/9/2025).


Rencana pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian pertama kali mengemuka setelah Presiden Prabowo bertemu dengan para tokoh yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Negara, Kamis (11/9/2025).


Menanggapi hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk RFP menyatakan dukungan tapi dengan catatan. Mereka menekankan pentingnya Tim Independen Reformasi Kepolisian yang tidak hanya formalitas, melainkan benar-benar menyasar sembilan masalah sistemik Polri yang selama ini menjadi akar persoalan.


Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina menegaskan bahwa reformasi Polri bukanlah agenda baru. Menurutnya, upaya pembenahan kepolisian harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur, tidak sekadar parsial.


“Reformasi kepolisian ini bukan baru-baru saja, tapi sudah sejak lama, bahkan sejak 1998 ada cetak biru reformasi Polri. Rasanya tidak cukup kalau hanya bicara pembenahan parsial. Yang dibutuhkan adalah perubahan menyeluruh menyasar institusi kepolisian itu sendiri,” kata Almas.


Ia menyoroti masih banyaknya skandal dan praktik represif kepolisian yang terus berulang.


"Wajah represif Polri ketika mengendalikan massa bukan sekali-dua kali terjadi. Pola itu terus terulang dari masa ke masa," ujarnya.


Almas juga mengkritik anggaran Polri yang pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp145,5 triliun, naik dari tahun sebelumnya.


"Polri masuk tiga besar penerima anggaran negara. Tapi transparansi dan akuntabilitasnya masih minim. Misalnya, soal pengadaan gas air mata, sampai hari ini kami masih kesulitan mengakses informasinya," jelasnya.


Ia menegaskan, tertutupnya pengelolaan anggaran membuka ruang korupsi.


"Di balik ketertutupan anggaran, kekhawatiran kami adalah terjadinya praktik korupsi yang sangat besar. Itu uang publik, sehingga harus dipertanggungjawabkan secara transparan," tegasnya.


Selain anggaran, ICW menyoroti tata kelola SDM Polri yang dinilai tidak konsisten dengan prinsip meritokrasi.


"Sudah terlalu sering kita melihat anggota yang terlibat pelanggaran berat hanya mendapat sanksi ringan, bahkan kemudian dipromosikan. Kasus Ferdy Sambo dan kasus korupsi Brotoseno menjadi contoh buruk bagi birokrasi kepolisian," terang Almas.


Menurutnya, Polri harus diisi oleh orang-orang berintegritas dengan sistem rekrutmen, mutasi, dan promosi yang berpijak pada merit dan komitmen antikorupsi.


Merespons wacana Presiden Prabowo membentuk Tim Independen Reformasi Kepolisian, Almas menekankan pentingnya agenda yang lebih konkret.


"Pembentukan tim saja tidak cukup. Banyak tim serupa sebelumnya tapi tidak menghasilkan perubahan berarti. Kami ingin tahu apa agenda besar Presiden, apa tugas tim, dan bagaimana DPR menindaklanjutinya," ujarnya.


Menurut Almas, Koalisi RFP telah menyiapkan sembilan peta masalah mendasar di tubuh Polri.


"Itu tidak boleh luput dari reformasi. Harapannya, Presiden Prabowo hadir langsung, bukan sekadar membentuk tim," jelasnya.


Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menegaskan bahwa cita-cita reformasi kepolisian yang diperjuangkan sejak 1998 hingga kini belum tercapai. Menurutnya, berbagai peristiwa kekerasan aparat dalam menangani demonstrasi menunjukkan wajah Polri yang masih jauh dari harapan masyarakat sipil.


Isnur mengingatkan bahwa sejak awal reformasi, masyarakat sipil mendorong pemisahan fungsi TNI dan Polri agar keduanya fokus pada perannya masing-masing. TNI bertugas di bidang pertahanan, sementara Polri mengemban mandat menjaga keamanan dalam negeri.


"Harapan kita, polisi hadir sebagai lembaga yang humanis, demokratis, tidak militeristik, tidak berbisnis, dan benar-benar melindungi serta melayani masyarakat. Itu mimpi reformasi 1998 yang terus kita kawal," kata Isnur.


Namun, Isnur menilai wajah Polri justru masih identik dengan tindakan represif. Ia mencontohkan peristiwa Agustus 2025 di Peranusius, di mana aparat kepolisian menggunakan kekerasan berlebihan terhadap massa aksi.


“Laporan kami mencatat 1.042 orang harus dilarikan ke rumah sakit dan enam orang meninggal dunia akibat kekerasan aparat. Itu bukan kejadian pertama, tapi berulang dari tahun ke tahun, dari aksi Omnibus Law 2020, revisi KPK 2019, hingga berbagai peristiwa di Wadas, Rempang, dan lainnya,” ungkapnya.


Bahkan, lanjut Isnur, pengacara LBH yang sedang mendampingi massa juga kerap menjadi korban intimidasi dan penangkapan.


"Ini menunjukkan wajah Polri yang masih jauh dari prinsip demokratis dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," tambahnya.


Isnur juga mempertanyakan efektivitas berbagai jargon reformasi Polri dari masa ke masa, mulai dari Promoter hingga Presisi.


"Dengan jargon-jargon itu, kenapa kasus Sambo bisa terjadi, atau Kapolda Teddy Minahasa yang terlibat jual-beli narkoba? Atau jenderal polisi korupsi SIM sampai ratusan miliar? Itu pertanyaan besar: apa yang salah dengan reformasi kepolisian kita?" tegasnya.


Menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto membentuk Tim Independen Reformasi Kepolisian, Isnur menekankan bahwa langkah itu tidak boleh hanya menjadi gimik politik.


"Pertanyaan pentingnya yaitu apakah tim ini akan sungguh-sungguh bekerja atau hanya sekadar menjawab tekanan publik? Presiden harus punya komitmen tegas, dan hasil kerja tim harus mengikat, berdampak nyata, serta menjadi dasar perubahan undang-undang kepolisian," ujarnya.


Isnur menambahkan, tim reformasi harus berisi sosok-sosok independen, berintegritas, bebas konflik kepentingan, serta melibatkan masyarakat sipil dan akademisi yang konsisten mengawal isu demokrasi dan HAM.


"Kalau tim hanya diisi orang dalam Polri atau yang punya kepentingan politik, maka hasilnya akan tumpul. Reformasi kepolisian harus menyasar masalah-masalah fundamental yang sudah akut," tegasnya.


“Kalau masalah-masalah ini tidak disentuh, maka agenda reformasi Polri hanya akan berputar di tempat, seperti yang terjadi dari masa Presiden ke Presiden sebelumnya,” pungkasnya.


Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) merupakan gabungan organisasi masyarakat sipil yang selama ini konsisten mengawal agenda reformasi kepolisian. Mereka terdiri dari YLBHI, ICW, AJI Indonesia, KontraS, ICJR, PBHI, Kurawal Foundation, LBH Pers, SAFEnet, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, dan PSHK.