Komisi BM Waqi'iyah Munas NU: Pengembangan AI Keagamaan Bersifat Fardhu Kifayah
Selasa, 19 September 2023 | 09:00 WIB
Sidang Komisi Bahtsul Masail (BM) Waqi'iyah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2023 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (18/9/2023) malam. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Di antara bentuk kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) adalah yang bersifat natural language processing (NLP). AI model ini diberikan kemampuan selayaknya manusia untuk memahami dan memberikan penjelasan dengan kata-kata yang dimengerti manusia. Pembentukan demikian karena memadukan nalar linguistik dan statistik.
AI NLP dalam bentuk seperti chat GPT ini menjadi salah satu tema pembahasan dalam Komisi Bahtsul Masail (BM) Waqi'iyah Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2023 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (18/9/2023) malam.
Persoalan yang ditanyakan dalam kasus ini adalah bolehkah menanyakan persoalan keagamaan pada AI NLP tersebut? Lalu, pertanyaan berikutnya adalah bolehkah mengamalkannya? Dan bagaimana hukumnya turut serta mengembangkan sistem AI NLP agar lebih sempurna?
Para mubahitsin atau peserta Bahtsul Masail ada yang menjawab pertanyaan pertama dengan tidak boleh. Pasalnya, AI ini jelas tidak bisa dipercaya karena tidak memiliki kemampuan keagamaan.
Merespons jawaban demikian, KH Najib Bukhori menyampaikan bahwa pertanyaan pertama tersebut sekadar bertanya. "Wong bertanya aja kok tidak boleh," ujar moderator Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah itu.
Menjawab sanggahan dari Kiai Najib, di antara mubahitsin ada yang mengutip Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 43, fas'alu ahladz dzikri in kuntum laa ta'lamun, "Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
Mendengar ini, Kiai Najib menyampaikan bahwa bertanya bukanlah suatu kesalahan. Perkara meyakini jawabannya itu soal lain. Sebab itu dipertanyakan pada soal kedua. Karenanya, bertanya dan netral terhadap jawabannya, tidak meyakini dan tidak juga menganggapnya dusta, adalah bukan suatu masalah.
Anggota Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) itu menegaskan bahwa persoalan kedua memang tidak boleh karena tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Adapun menjawab pertanyaan ketiga, keperluan pengembangan AI, semua langsung menyepakati bahwa hal tersebut menjadi sebuah keharusan. Ketika hal demikian ditanyakan kepada KH Aniq Muhammadun selaku pentashih, ia juga langsung sepakat. "Ya sekurang-kurangnya fardhu kifayah," ujar Rais Syuriyah PBNU itu.
Artinya, kefarduan ini berlaku secara umum seperti mengurusi jenazah orang meninggal. Jika sudah ada yang melakukan, maka gugur kewajiban lainnya.
Hadir memberikan penjelasan secara virtual, Pengurus Badan Pengembangan Inovasi Strategis (BPIS) Ainun Najib. Ia menyampaikan bahwa AI NLP ini dipastikan pernah salah, tidak bisa memberikan ide baru, dan bias.
Bahkan AI ini juga bisa mengada-ngada. Ia mencontohkan ketika bertanya soal namanya pada AI Chat GPT 4, mesin tersebut menjawab istri dari BJ Habibie. Pun ketika ditanyakan soal KH Yahya Cholil Staquf, dijawabnya pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PBNU.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya pengembangan AI oleh NU harus dilakukan. Kiai Najib Bukhari yang memimpin sidang pun langsung mengetok palu dan menyerahkan pelantang (mik) kepada Kiai Aniq Muhammadun untuk memimpin pembacaan Al-Fatihah.