Nasional

Komnas Perempuan: Hari Ibu Jangan Sekadar Perayaan Simbolik Peran Domestik

Senin, 22 Desember 2025 | 11:00 WIB

Komnas Perempuan: Hari Ibu Jangan Sekadar Perayaan Simbolik Peran Domestik

Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor saat ditemui NU Online di Pesantren Ciganjur, Jakarta pada Ahad (21/12/2025). (NU Online/Jannah)

Jakarta, NU Online

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa peringatan Hari Ibu di Indonesia tidak semestinya berhenti pada perayaan simbolik yang justru mengokohkan peran domestik perempuan. Hari Ibu seharusnya menjadi ruang refleksi ideologis untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan perempuan sebagaimana dicetuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 1928.


Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menekankan bahwa sejarah Hari Ibu di Indonesia memiliki akar ideologis yang berbeda dengan peringatan Mother’s Day di sejumlah negara lain.


“Kalau kita memperingati Hari Ibu, Indonesia itu berbeda dengan Mother’s Day di luar negeri. Ideologi dan sejarah yang diperjuangkan di Indonesia sangat khas,” ujarnya saat ditemui NU Online di Pesantren Ciganjur, Jakarta, Ahad (21/12/2025).


Maria menjelaskan, peringatan Hari Ibu berangkat dari momentum Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 yang berlangsung pada masa kolonial. Saat itu, perempuan Indonesia membangun ideologi perlawanan terhadap kolonialisme sekaligus budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.


“Sejarah mengapa kemudian ada peringatan Hari Ibu, akar sejarahnya adalah Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 1928,” katanya.


Ia mengungkapkan bahwa isu-isu yang diperjuangkan hampir satu abad lalu masih relevan hingga saat ini. Salah satunya adalah penghentian praktik perkawinan anak yang hingga kini masih menjadi persoalan serius.


“Kita bisa lihat di dalam hasil keputusan kongres pertama itu, di antaranya adalah hentikan perkawinan anak. Hari ini isunya masih sama, hentikan perkawinan anak,” ujarnya.


Selain itu, perjuangan menghentikan praktik pergundikan pada masa itu, menurut Maria, memiliki kesamaan dengan persoalan perdagangan orang dan perbudakan seksual yang masih terjadi di era sekarang.


Kesamaan isu tersebut, lanjutnya, menunjukkan bahwa akar persoalan patriarki belum terselesaikan. Patriarki membangun konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa di ruang publik, sementara perempuan dibatasi pada ranah domestik.


“Yang menganggap bahwa laki-laki itu lebih penting, punya kuasa, urusannya adalah urusan publik, sementara perempuan urusannya adalah urusan domestik,” tegasnya.


Maria juga menyoroti diskriminasi yang masih dialami perempuan, termasuk tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, perempuan kini memiliki akses pendidikan yang lebih tinggi dan berperan aktif di dunia kerja. Namun, setelah menikah, perempuan kerap dikonstruksikan untuk kembali sepenuhnya ke ranah domestik.


Menurutnya, refleksi kolektif penting dilakukan agar bangsa ini tidak mengingkari sejarahnya sendiri, terutama dalam memperingati Hari Ibu.


“Kalau kita mau melakukan refleksi terhadap perjalanan peringatan Hari Perempuan Indonesia, di 2025 ini semua harus sadar bahwa ideologi peringatan tersebut berasal dari Kongres Perempuan yang pertama,” ujarnya.


Ia berharap semangat Hari Ibu tidak lagi dimaknai sebagai perayaan yang menempatkan perempuan semata sebagai ibu rumah tangga, melainkan sebagai momentum untuk mendorong kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam politik serta kebijakan publik.


“Harapannya, peringatan tanggal 22 Desember dikembalikan semangat dan ideologinya pada Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928,” pungkas Maria.