Nasional

Komnas Perempuan Ungkap Ada 1.791 Kasus KBGO pada 2024, Relasi Kuasa Jadi Persoalan Serius

Ahad, 23 November 2025 | 10:00 WIB

Komnas Perempuan Ungkap Ada 1.791 Kasus KBGO pada 2024, Relasi Kuasa Jadi Persoalan Serius

Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor di Jakarta, Sabtu (22/11/2025). (Foto: NU Online/Rikhul Jannah)

Jakarta, NU Online

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah Anshor menyampaikan bahwa sepanjang 2024 terdapat 1.791 laporan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Angka tersebut meningkat 40,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya (2023).


“KBGO sebagai kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang terjadi di ruang daring atau difasilitasi oleh teknologi. Sebagian korban mulai melapor dengan cara diviralkan,” ujar Maria saat ditemui NU Online di Jakarta, Sabtu (22/11/2025).


Ia menerangkan bahwa dari total laporan tersebut, 981 kasus atau 54,77 persen terjadi di ranah publik, sementara 810 kasus atau 45,23 persen terjadi di ranah personal.


“KBGO ini ada lima rumpun, yaitu malicious distribution (penyebaran materi untuk tujuan merusak citra), cyber sexual harassment (pelecehan seksual siber), sexploitation (eksploitasi seks), online threats (ancaman siber), dan pelanggaran privasi,” jelasnya.


Terkait kerentanan perempuan, Maria menilai relasi kuasa masih menjadi akar persoalan serius yang mempengaruhi pola terjadinya kasus.


“Pada mulanya relasi kuasa. Antara korban dan pelaku itu seringkali korban posisinya lebih rendah, dan pelakunya adalah orang yang punya kuasa,” ucapnya.


Kondisi itu membuat banyak korban merasa takut menolak atau melapor karena berada dalam hubungan yang timpang dengan pelaku, seperti guru, senior, atau pihak lain yang memiliki otoritas lebih tinggi.


“Jadi dia takut untuk melapor. Apapun yang diminta oleh orang yang lebih tinggi ini, mereka akan menuruti saja apa yang dia inginkan. Karena takut diancam, pasti diancam,” ucapnya.


Maria menekankan bahwa ruang digital semakin rentan menjadi medium ancaman, baik yang dilakukan secara personal maupun terbuka di ruang publik.


Ia menilai penting bagi perempuan memiliki kemampuan literasi digital, terutama dalam mengenali risiko, menetapkan batasan, dan menyampaikan penolakan dalam komunikasi daring.


“Itu yang harus dibatasi, harus disampaikan supaya anak-anak juga bisa tahu mana yang beresiko, mana yang toksik, mana yang aman,” tegas perempuan yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Fatayat NU masa khidmah 2000-2005 dan 2005-2010 itu.


Sebagai upaya pencegahan, Komnas Perempuan terus mendorong edukasi publik mengenai penggunaan ruang digital secara aman.


“Langkah yang dilakukan Komnas Perempuan, terus mengedukasi mengenai kapan saatnya menggunakan digital, kapan bisa mencegah, dan kapan dia melakukan penolakan, itu penting,” pungkas Maria.