Jakarta, NU Online
Nusantara merupakan wilayah yang kosmopolit. Pun dengan corak keislamannya yang sarat budaya lokal, tetapi penuh dengan pengaruh budaya dari berbagai wilayah dunia Islam. Hal ini dibawa melalui Jalur Rempah atau jalur perdagangan maritim.
“Islam Nusantara merupakan produk semangat lokal yang bergabung dari Persia, India, Turki, China, dan Afrika. Semua budayanya turut mewarnai budaya Nusantara. Di sana saya kira kosmopolitanismenya,” kata Martin van Bruinessen, peneliti senior kajian Islam Turki dan Asia Tenggara, saat mengisi Lecture II yang digelar Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdhlatul Ulama Indonesia (Unusia) bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada Sabtu (24/4).
Martin menjelaskan bahwa Jalur Rempah ini tidak hanya menjadi arus perdagangan yang membawa barang dari berbagai wilayah untuk diperjualbelikan. Tapi Jalur Rempah itu juga ada perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Mereka tidak hanya membawa diri secara fisik, tetapi juga ide dan pemikiran, termasuk agama.
“Lebih penting dari barang dagangan, ada manusia yang bergerak, berpindah dan tinggal lama. Ada juga ide-ide, pemikiran, termasuk agama,” ujarnya pada diskusi yang mengangkat tema Tradisi dan Jaringan Sufisme di Jalur Rempah: Akar Kosmopolitanisme Islam Nusantara itu.
Hindu Budha juga menyebar melalui Jalur Rempah ini. Bahkan dalam perkembangannya, Sriwijaya, kini di sekitar Palembang, pernah menjadi pusat agama Budha. Ia menjadi destinasi belajar bagi banyak orang untuk memperdalam pengetahuan agama Budha.
Melihat perjalanan Marco Polo (1271-1295), pelancong dari Italia itu pulang dari China melalui Jalur Rempah. Pedagang tersebut dalam catatannya tidak melaporkan adanya Muslim di wilayah Nusantara.
Namun, puluhan tahun berikutnya, Ibnu Batutah mencatat dalam perjalanannya bahwa ada Muslim di wilayah Nusantara. Pelancong yang ahli fiqih asal Maroko itu sempat menjadi hakim di beberapa wilayah Islam yang dilaluinya. Sepulang dari Zaitun (dikenal Quanzhou), salah satu daerah di China, ia berjalan melalui Jalur Rempah, melewati Filipina, Kalimantan, hingga di Sumatera. Di wilayah terakhir itulah, Ibnu Batutah melaporkan adanya orang Islam.
Islam juga menyebar ke Indonesia melalui Jalur Rempah. Hal ini tampak dari perjalanan Cheng Ho menyingkir ke Pesisir Utara Jawa, Sumatera. Kedatangan Cheng Ho hampir bersamaan dengan proses Islamisasi Jawa. Satu teori mengenai Walisongo yang selalu menjadi kontroversi menyebutkan bahwa Walisongo datang dari China.
Hal ini diperkuat dengan catatan adanya migrasi besar-besaran dari China ke Jawa, yakni dari Zaitun pada awal abad 15, sekitar tahun 1430 sampai 1440 M. Sebagian besar mereka merupakan masyarakat China Muslim. Mereka mengambil bagian dari proses Islamisasi Jawa.
“Kedatangan mereka menjadi faktor mendorong pribumi masuk Islam. Teori itu didukung Babad Tanah Jawi,” kata Guru Besar Universitas Utrecht, Belanda itu.
Martin melihat bahwa di Jalur Rempah ini lebih banyak disebarkan fiqih dalam Mazhab Syafi’i. Hal ini tampak dari penganut mazhab tersebut di beberapa wilayah yang dilalui jalur ini, yakni Indonesia, India, hingga Yaman.
Sementara itu, Dekan Fakultas Islam Nusantara Ahmad Suaedy dalam pengantarnya menyampaikan bahwa Jalur Rempah selama ini hanya dilihat dari komoditi perdagangan. “Sejauh yang saya tahu, belum ada jalur rempah dilihat dari jalur intelektual dan spiritual,” katanya.
Padahal, lanjut Suaedy, orang yang berlalu-lalang melalui jalur tersebut membawa nilai spiritual masing-masing, baik Hindu, Budha, maupun Islam. “Jadi, kita ingin dalam program ini, kita ingin menelusuri jaringan intelektual dan spiritual di dalam Jalur Rempah,” katanya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin