Pustaka

Wali Abad 21 itu Seorang Kosmopolit

Senin, 20 Januari 2020 | 08:00 WIB

Wali Abad 21 itu Seorang Kosmopolit

Ada yang lebih penting dari sekadar memistifikasi kewalian Gus Dur.

Sekali waktu, saat masa-masa akhir era Presiden Habibie, Ryaas Rasyid, mantan Menteri Otonomi Daerah, berbincang ringan dengan Gus Dur. Dalam perbincangan itu, Gus Dur berceletuk kalau ia akan menjadi presiden. Mendengar celetukan Gus Dur, respons Ryaas enteng. Barangkali hanya celetukan humor belaka, pikirnya.

 

Beberapa waktu kemudian, media mulai mengerek nama Gus Dur sebagai salah satu orang yang memiliki kans besar menggantikan Habibie. Melihat fakta itu, Ryaas kaget. Benar saja, tak lama usai ia berbincang dengan Gus Dur, sidang istimewa DPR/MPR mengetuk palu tanda terpilihnya Gus Dur sebagai presiden baru.

 

Melihat kenyataan itu, Ryaas mengira perkataan Gus Dur tempo lalu adalah tanda kewalian. Cerita ini ditampilkan dalam buku Bukti-Bukti Gus Dur Wali (cet I, 2016) yang ditulis Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin yang memuat 99 kisah bukti kewalian Gus Dur.

Mistifikasi kewalian Gus Dur macam itu memang sudah lama menjadi konsumsi umum. Padahal, terkhusus kasus di atas, pembacaan Gus Dur mengenai kemungkinan dirinya menjadi presiden telah lama dilakukan, bahkan jauh sebelum masa kejatuhan Soeharto.

 

Dalam buku kumpulan esai berjudul Sang Kosmopolit (2020) karya Hairus Salim H.S. ini, banyak dikisahkan celetukan Gus Dur mengenai kemungkinan, bahkan keinginan, dirinya menjadi presiden. Salah satunya seperti dikisahkan dalam esai berjudul "Tokoh Gagal yang Berhasil".

 

Kisahnya begini. Suatu hari dalam sebuah seminar pada 1993 di Yogyakarta, salah satu peserta seminar mengajukan pernyataan nyelekit kepada Gus Dur. Katanya, Gus Dur menjadi pengkritik presiden karena kecewa tidak kunjung diangkat menjadi menteri. Dengan santainya, Gus Dur menjawab, "Catat, ya. Menteri itu kecil. Pemilu kemarin saya justru diminta Pak Harto untuk jadi wakilnya. Saya menolak, mengapa? Karena saya ingin jadi presiden." Hadirin bersorak-sorai menyambut jawaban sarkastik itu. Lain dengan hadirin, Hairus Salim justru menangkap sinyal keseriusan dari raut Gus Dur. Benar saja, enam tahun kemudian Gus Dur menjadi presiden.

 

Bagi Hairus Salimorang yang sejak remaja telah mengikuti semesta pemikiran Gus Durberbagai pembacaan, atau ramalan, yang disodorkan Gus Dur, termasuk keinginan menjadi presiden, merupakan hasil dari panjangnya perjalanan keilmuan putra KH A Wahid Hasyim itu. Artinya, kecakapan Gus Dur dalam membaca segala kemungkinan dihasilkan dari sebuah proses produksi pengetahuan panjang yang dilakukan oleh seorang intelektual biasa, tidak lebih.

Menggelontorkan wacana bahwa Gus Dur adalah wali dengan sekuat tenaga, bagi saya adalah hal yang sia-sia. Apalagi, bukti-bukti kewalian itu dihadirkan dengan kisah-kisah yang mistis dan tak bisa diterima akal sehat.

 

Mistifikasi kewalian hanya akan membuat generasi pasca-Gus Dur merasa jauh dari jeniusnya pemikiran Gus Dur, yang sebenarnya dapat dicapai oleh siapa pun tanpa perlu menjadi wali. Buku setebal 181 halaman ini akan mendekatkan kejeniusan itu.

 

Melalui buku ini, Hairus Salim berhasil menyajikan sosok Gus Dur yang manusiawi. Makamnya yang kini tak berhenti diziarahi, pemikiran-pemikirannya yang kian hari kian berkembang, dan pengaruhnya yang tak mati dibunuh zaman, hanyalah hasil dari getirnya perjalanan Gus Dur dengan banyak pengalaman dan ilmu pengetahuan.

 

Cerita dari Seorang Pengagum

Saat duduk di bangku sekolah dasar, ketika masih memulai mengenal bacaan, Hairus membaca buku tebal berjudul KH A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957) karya Aboe Bakar Atjeh. Buku itu berisi kisah hidup keluarga Kiai Wahid Hasyim dan Pesantren Tebuireng, Jombang. Di dalamnya, termuat foto keluarga KH Wahid Hasyim, begitupula visual Gus Dur kecil. Bagi Hairus, melihat sosok Gus Dur kecil dalam buku itu adalah perkenalan awalnya dengan Gus Dur.

 

Menginjak SLTP, Hairus banyak melahap esai-esai Gus Dur di majalah Tempo yang kerap dibeli ayahnya. Tanpa mengetahui siapa sebenarnya sosok Abdurrahman Wahid, Hairus tetap saja melahap esai-esai itu tanpa memerhatikan siapa yang menulis. Nama Abdurrahman Wahid pun hanya sayup-sayup diingatnya. Setelah lama waktu, baru ia mengenal latar belakang sang penulis esai. Ialah seorang kiai, tokoh NU, yang tentu saja lekat dengan Islam. Identitas Gus Dur itulah yang membuatnya mulai jatuh cinta.

 

Esai-esai Gus Dur yang generalistik, membahas banyak tema, dan tidak terbatas pada soal-soal keislaman, membuat Gus Dur menarik perhatiannya.

 

Menginjak masa kuliah dan setelahnya, barulah Hairus dapat bertatap muka dengan sang idola. Terutama saat ia mulai mendirikan Yayasan Lembaga Kajian Islam (YLKIS) pada 1992, Gus Dur sering berkunjung ke lembaga yang bermarkas di Yogyakarta itu. Mulailah ia mendakwa diri sebagai murid sekaligus pengikut setia Gus Dur.

 

Dimulailah ragam pengalaman dan kisah-kisah Hairus bersama Gus Dur. Kisah-kisah itu kini termuat dalam buku terbitan EA Books ini. Maka, pada pengantar buku, dengan gagah berani dan tanpa gengsi Hairus menyebutkan bahwa semua esai yang ia tulis merupakan impresi dan sudut pandang dari “seorang pengagum”.

 

“Oleh sebab itu,” tulisnya, “isi dan nadanya kebanyakan lebih bersifat pujian atau setidaknya tanpa pretensi kritik. [...] Meski demikian, saya tetap berusaha bersikap proporsional agar tak menjadi isapan jempol,” demikian Hairus (hlm. ix).

 

Kosmopolitanisme dan Islam

Dalam sebuah paper berjudul “Making a World of Difference? Habermas, Cosmopolitanism and the Constitutionalization of International Law”, Neil Walker mendefinisikan wacana kosmopolitanisme sebagai sebuah perspektif yang menginginkan suatu tujuan yang didasarkan pada aspek kemanusiaan.

 

Neil menaruh subjek wacana kosmopolitanisme ini pada format single moral community, di mana setiap anggota dalam suatu komunitas, memiliki kewajiban dalam mewujudkan nilai-nilai yang menjadi tujuan bersama (EUI Working Paper LAW No. 2005/17, hlm. 14).

 

Proses mencapai tujuan bersama ini, dalam perspektif kosmopolitanisme, sama sekali lepas dan telanjang dari sekat-sekat identitas yang membatasi manusia. Ditambahkan oleh Neil, sekat-sekat itu adalah konsep common nationality, religious, dan ethnicity yang menurutnya cenderung mengikat, dan memiliki kewajiban-kewajiban.

 

Jauh sebelum Neil, Immanuel Kant telah membukukan wacana kosmopolitanisme ini dalam To Perpetual Peace: A Philosophical Sketch (1759), tulisan yang pasti populer di kalangan akademisi HI. Mengacu kepada situasi zaman yang saat itu sedang berada dalam kecamuk perang antar-negara yang bersifat takluk-menaklukkan, Kant menawarkan hak kosmopolitan sebagai salah satu cara menuju perdamaian dunia.

 

Dengan menjunjung tinggi persamaan tanpa batas, wacana kosmopolitanisme yang mesti menelanjangi identitas individual itu justru menemui kecacatan. Kecacatan itu menurut Hairus dalam esai “Menjadi Seorang Kosmopolit” akan membuat seorang beragama kesulitan menjadi kosmopolit. Padahal, agama adalah ibu kandung di mana perspektif kemanusiaan tanpa batas--titik pijak wacana kosmopolitanisme--dibuahi dan lahir.

 

Kecacatan perspektif kosmopolitanisme klasik yang menafikan kehadiran agama sebagai produsen wacana kemanusiaan itu dijawab tuntas oleh Gus Dur dalam tulisan Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (1988). Seperti dikutip oleh Hairus, dalam tulisan tersebut Gus Dur mengkonseptualisasikan ajaran-ajaran universalisme Islam ke dalam lima buah jaminan dasar yang diberikan kepada masyarakat, baik perorangan maupun kelompok.

 

Kelima jaminan dasar itu antara lain: (1) Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; (2) Keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; (3) Keselamatan keluarga dan keturunan; (4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; dan (5) Keselamatan profesi.

 

Lima dasar jaminan itulah yang tanpa henti diperjuangkan oleh Gus Dur, baik saat sebelum menjadi presiden, ketika menjadi presiden, hingga setelah dimakzulkan MPR. Maka, sebagaimana kita ketahui hari ini, Gus Dur menjadi salah satu tokoh pluralisme Indonesia paling berpengaruh abad 21.

 

Kita dapat melihat, semasa menjabat presiden, Gus Dur mengeluarkan beragam kebijakan yang berdasarkan pada perjuangan lima dasar jaminan keselamatan masyarakat tadi. Seperti meresmikan Konfusianisme sebagai agama resmi, memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa, menjadikan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional, dan berbagai upaya lain yang menghendaki kesetaraan umat manusia dan anti-diskriminasi.

 

Upaya untuk menghapus UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menjadi basis diskriminasi terhadap minoritas juga sempat dilakukan Gus Dur. Bahkan, ia juga pernah berupaya mencabut larangan terhadap wacana marxisme, leninisme, dan komunisme yang menjadi basis diskriminasi kepada mantan anggota PKI beserta keturunan-keturunannya.

 

Namun, sebagaimana kita tahu hari ini, upaya-upaya itu gagal dilakukan dan justru menjadi bagian dari alasan pemakzulannya sebagai presiden.

 

Berkat perspektif kosmopolitanisme itulah, Gus Dur dicintai banyak kalangan. Semua orang, tanpa pandang suku, ras, agama, gender, dan semua golongan-golongan masyarakat, begitu mencintai Gus Dur. Maka, tak aneh bila hingga kini, makam cucu Hadratusyekh Muhammad Hasyim Asy'ari itu tak pernah sepi peziarah.

 

Dalam esai berjudul “Pertemuan dengan Guru Sakumpul”, Hairus menceritakan bahwa KH Maimun Zubair dari Sarang pernah menyatakan kecemburuannya terhadap Gus Dur. Kepada Gus Mus, Kiai Maimun mengatakan, “Apa gerangan amalan rutin Gus Dur sehingga pemakamannya dihadiri ratusan ribu orang dan makamnya tak pernah sepi dari penziarah?” (hlm. 54).

 

Merujuk pada panjangnya pembahasan di atas, kita tahu bahwa jawaban atas pertanyaan Kiai Maimun adalah: bukan amalan-amalan ilahiah yang lepas dari upaya-upaya nyata perjuangan kesetaraan manusia yang membuat makam Gus Dur ramai penziarah, melainkan karena Gus Dur adalah seorang kosmopolit sejati.

 

Tampak cerah, kita dapat katakan, kewalian itu datang dari gagasan kosmopolitanisme Islam ala Gus Dur.

 

 

Peresensi adalah Fahri Hilmi, admin @pikiranlelaki_. Dapat ditemui di @fahrihill.

 

 

Identitas Buku

Judul: Sang Kosmopolit

Penulis: Hairus Salim H. S.

Tahun terbit: 2020

Tebal: 182 halaman

Penerbit: EA Books

ISBN: 978-623-91089-4-6