Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah, mengungkapkan kekerasan pada anak di masa pandemi Covid-19 didominasi oleh ibu. Pernyataan itu berdasarkan data survei terhadap 25.164 responden anak dan 14.169 orang tua yang dilakukan di 34 provinsi pada tahun 2020.
"Anak-anak 23 persen secara fisik mengakui pernah dicubit orang tua, dengan total 63 persen dicubit ibu, 36 persen oleh kakak, diikuti dengan ayah sebesar 27 persen," kata Ai pada acara Webinar Peringatan Hari Anak Nasional yang diselenggarakan PB Kopri PMII, Senin (26/07/2021).
Sedangkan secara psikis, sebesar 79 persen anak-anak mengakui pernah dimarahi dan dibentak oleh ibunya. Menurutnya, perlakuan tersebut timbul karena efek domino dari beban ganda yang dilimpahkan kepada ibu. Baik saat melakukan peran Ibu rumah tangga, pekerja kantor (WFH), atau guru bagi anak-anaknya saat berada di rumah selama pandemi Covid-19.
"Dampak domino itu menjadi related (cocok) dengan penelitian Komnas Perempuan juga, bahwa situasi emosi yang dirasakan ibu saat pandemi ini harus menemukan tempat untuk menyampaikan atau mengekspresikan atau mengkonsultasikan. Dan ini belum dilakukan," tutur Ketua Umum Korps PMII Puteri masa khidmat 2005-2008 itu.
Karena, lebih dari 66 persen orang tua mengaku tidak pernah mendapatkan informasi atau mengikuti pelatihan tentang pola pengasuhan yang benar terhadap anak. Selain dari media sosial atau internet. "Jadi, orang tua terbiasa mendidik anak dengan pola-pola kekerasan, seperti menjewer dan membentak," ujar Ai.
Penyebab perkawinan paksa
Sementara itu, Dokter Spesialis Anak sekaligus anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Sri Riyanti Windesi, mengungkapkan selain kekerasan yang terjadi di rumah, situasi pandemi juga mendorong banyaknya kasus perkawinan anak secara paksa. Perkawinan paksa pada umumnya berawal dari kasus seksualitas akibat miskonsepsi pendidikan seksual dan kurangnya pengenalan kesehatan dan reproduksi (kespro) kepada anak.
"Sudah banyak kasus terkait seksualitas yang melibatkan anak-anak di bawah umur. Seperti pelecehan seksual, hubungan pranikah hingga kehamilan tak diinginkan yang berujung perkawinan paksa," kata dr Sri.
Menurutnya, hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki pedoman untuk melindungi diri dan melawannya ketika sudah berada di fase tersebut. Padahal tahapan perkembangan seksual pada anak seharusnya sudah dipahami oleh orang tua dengan mengenalkan pendidikan seksualitas dan kespro sedini mungkin.
"Pengajaran terkait itu kembali lagi ke keluarga, bagaimana cara pola asah, asih, asuhnya terhadap anak. Karena tugas mereka itu melindungi setiap nyawa sejak dalam kandungan," tegas dia.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan