Kutip Bait Alfiyah, Gus Ulil Sebut Santri Tidak Pernah Khawatir soal Rezeki
Jumat, 22 Oktober 2021 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Gus Ulil Abshar Abdalla menerangkan berbagai etika dan karakter santri di dalam pesantren tradisional yang dikutip serta dimaknai dari bait-bait awal di Kitab Alfiyah Ibnu Malik.
Salah satu bait yang dikutip itu berbunyi wa tabsuthul badzla bi wa’din munjazi. Ia kemudian teringat pesan seorang kiai yang menjadi gurunya saat mondok. Pesan tersebut adalah santri tidak perlu khawatir soal rezeki kalau sudah benar-benar menguasai Kitab Alfiyah Ibnu Malik ini.
“Pasti Allah akan memberi (rezeki) itu. Ini etika kemandirian. Santri itu kalau dia betul-betul menguasai ilmunya, nggak akan khawatir soal nanti kalau sudah selesai dari pesantren, dari pendidikan, itu dari mana dapat nafkahnya. Tidak khawatir santri itu,” jelas Gus Ulil saat ditemui NU Online di kediamannya, Jumat (22/10/2021).
Sebab menurutnya, salah satu problem terbesar tradisi keilmuan sekaligus menjadi tragedi adalah pengetahuan dicari hanya semata-mata bertujuan untuk mendapatkan ijazah, bukan demi pengetahuan itu sendiri.
“Kenapa ijazah dicari? Karena ijazah dianggap menjamin dapat pekerjaan. Jadi di dalam tradisi modern itu sebetulnya pengetahuan yang dicari karena dampak pasca-pendidikannya, yaitu dapat rezeki, nafkah, dan kedudukan, jadi profesor, naik jadi lector, lector kepala. Tetapi pengetahuan tidak dicari untuk pengetahuan itu sendiri,” terang Gus Ulil.
Ia kembali menegaskan bahwa mencari pengetahuan itu jangan sampai ada pamrih yang diharapkan. Terlebih kalau santri mampu mendalami Alfiyah maka tidak akan pernah khawatir, karena yakin Allah akan menjamin rezeki.
“Saya suka dengan para santri, mereka nggak peduli pendidikannya diijazahi atau tidak. Bahkan di era orde baru dulu itu, pesantren tidak dipertimbangkan di dalam sistem pendidikan nasional. Tamatan pesantren nggak bisa ikut ujian negara, tetapi santri tidak akan cemas ketika selesai dari pondok hendak ke mana,” tambahnya.
Salah satu ajaran KH Sahal Mahfudh Kajen, tambah Gus Ulil, yakni melarang para santri yang belajar di sana untuk mencari ijazah dan niat belajar hanya untuk mencari pekerjaan. Dilarang keras juga para santri untuk ikut ujian negara.
“Kalau ada santri ketahuan ikut ujian negara, itu dikeluarkan. Alasannya, kalau ikut ujian negara, niat kamu cari ilmu pasti sudah belok yaitu untuk mencari rezeki. Etika yang diajarkan di dalam kitab Alfiyah itu kamu mencari ilmu karena mencintai pengetahuan dan karena kenikmatan pengetahuan itu sendiri,” jelas santri Kiai Sahal Mahfudh di Pesantren Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.
Ditegaskan, kalau santri sudah tabahhur atau mendalami ilmu seperti lautan maka rezeki akan datang dengan sendirinya. Bahkan, Gus Ulil menegaskan, santri yang seperti itu tidak perlu melamar pekerjaan tetapi malah dilamar oleh pekerjaan.
“Makanya santri-santri yang pintar di pondok, nanti dilamar kiainya. Selesai sudah, urusan rezeki. Beda sama mahasiswa sekarang yang melamar (pekerjaan) ke mana-mana, tetapi kalau santri yang pintar pasti dilamar,” terang pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1967 itu.
“Jadi kalau orang sudah tabahhur, itu wa tabsutul badzla bi wa’din munjazi, maka kamu akan dapat anugerah dari Allah yang berlimpah-limpah karena menguasai pengetahuan itu,” imbuhnya.
Ia lantas membacakan bait Alfiyah berikutnya yang berbunyi wa taqdi ridhan bi ghairi sukhti. Artinya, kitab yang dikarang oleh Imam Ibnu Malik itu dapat mendatangkan ridha dari Allah. Itulah etika santri dalam mencari ilmu.
“Mencari ilmu itu salah satu tujuannya adalah mencari keridhoan Allah, bukan untuk yang lain. Kita mencari ridha Allah, selain mencari ilmu itu sendiri,” pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi