Kutip Gus Dur, Mahfud MD: Bangun Demokrasi, Umat Islam Akan Maju di Indonesia
Sabtu, 13 Agustus 2022 | 09:30 WIB
Mahfud MD saat membuka Kongres XX IPNU dan Kongres XIX IPPNU di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat (12/8/2022). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menegaskan, umat Islam di Indonesia tak perlu berteriak, menunjukkan atau menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan ideologi Islam.
Menurutnya, tanpa simbolisasi formalistik, Indonesia tetap akan dikenal sebagai negara Islam terbesar di dunia. Pemahaman ini didapat Mahfud dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Diketahui, ia bersama Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memang dikenal sebagai pengikut atau kader Gus Dur.
“Dia (Gus Dur) percaya betul bahwa umat Islam tidak perlu membawa simbol-simbol, undang-undang Islam. Itu tidak perlu. Kata Gus Dur, bangun saja demokrasi, umat Islam akan maju di Indonesia. Yang diperjuangkan oleh Gus Dur adalah demokrasi,” ungkapnya dalam Pembukaan Kongres XX Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Kongres XIX Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, pada Kamis (12/8/2022).
Ia menegaskan, saat reformasi dan kran demokrasi dibuka oleh Gus Dur, seluruh umat Islam di Indonesia bisa bersaing secara bebas. Dari situlah, warga NU mulai berperan dan masuk ke dalam birokrasi pemerintahan. Semula, hanya dijatah menteri agama. Tetapi saat ini, ada banyak menteri yang berasal dari NU. Semua itu karena dibukanya demokrasi di Indonesia.
“Ketika demokrasi dibuka maka dengan sendirinya akan bermunculan kelompok atau organisasi sosial masyarakat, seperti NU yang pengikutnya banyak dan pasti jadi rebutan. Ini dari sudut politik. Demokrasi membuka pintu untuk mobilitas sosial vertikal. Sekarang sudah terjadi mobilitas vertikal di kalangan umat Islam,” tuturnya.
Karena itu, Mahfud mengajak pelajar NU se-Indonesia untuk tidak mengikuti paham radikal. Sebab demokrasi yang telah berkembang di Indonesia dengan landasan Pancasila, telah membuat Islam menjadi agama yang maju dan mengalami mobilitas vertikal.
“Ketika saya kecil tahun 1960-an, orang Islam itu kampungan di Indonesia. Lulusan pesantren dan madrasah tidak dihargai, dianggap tidak bermutu. Sekarang, orang seperti Gus Menteri Yaqut dari pesantren bisa jadi menteri, dari pesantren. Itu karena terjadi mobilitas vertikal yang tinggi,” jelas Mahfud.
Kini, di kantor-kantor pasti ada masjidnya. Padahal dulu, orang Islam masih malu-malu untuk pergi ke masjid. Sekalipun ada, masjidnya kotor. Bahkan, umat Islam terkadang shalat di pinggir jalan, di tempat-tempat yang kumuh. Tak hanya itu, zaman dulu masih jarang ada perempuan Muslimah yang mengenakan kerudung atau jilbab di ruang publik.
“Sekarang, orang bangga punya masjid. Pegawai-pegawai di kantor bangga punya masjid, rektor-rektor di kampus bangga kalau bawa sajadah. Sekarang, profesor-profesor perempuan semua pakai jilbab. Tidak perlu (teriak-teriak simbolik). Apa yang bisa mengantar itu secara cepat? Yaitu demokrasi,” tegas Mahfud.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU Gus Yahya berpesan kepada kader IPNU IPPNU untuk bersiap menghadapi tantangan-tantangan ke depan yang akan semakin besar. Ia menegaskan, NU saat ini butuh melakukan percepatan di berbagai bidang.
“Termasuk di dalam mobilitas vertikal, kader-kader NU harus kita jalankan secara akseleratif. Kita tidak bisa bekerja seperti kemarin-kemarin. Saya ingin melihat ke depan nanti, kader-kader IPNU IPPNU mencapai prestasi tinggi tapi secara rombongan (tidak sendiri-sendiri), karena dunia semakin berat,” pungkas Gus Yahya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF