Larangan Ekspor Sawit Bikin Petani Menderita, tapi Harga Minyak Goreng Tak Turun Banyak
Ahad, 8 Mei 2022 | 21:00 WIB
Depok, NU Online
Larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang diberlakukan oleh pemerintah ternyata memakan korban, yakni para petani. Pasalnya, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit turun drastis dari sebelumnya Rp3.000-Rp4.000 kini tinggal Rp1.200-Rp1.600. Nasib tragis ini terjadi di tengah-tengah melonjaknya harga internasional.
Di sisi lain, harga minyak goreng kemasan tak turun banyak dengan kisaran Rp48-54 ribu per liter, tergantung merek. Harga minyak goreng curah per liter masih berkisah Rp18.500.
Guru Besar Teknologi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Maksum Machfoedz berpendapat pemerintah menerapkan kebijakan yang ekstrem. Ketika produsen dibebaskan melakukan ekspor, maka harga minyak goreng dalam negeri menjadi mahal. Petani sawit dan produsen minyak bersuka cita luar biasa. Namun, konsumen minyak goreng menjerit.
Saat ekspor dilarang, harga domestik menjadi sangat murah karena kelebihan pasokan. Petani mengalami kerugian besar. “Ini juga sangat zalim,” tegasnya pada Ahad (8/5/2022).
Indonesia sebenarnya menjadi produsen sawit terbesar di dunia. Untuk kebutuhan dalam negeri, sawit Indonesia mengalami kelebihan pasokan dan daya saingnya secara global sangat kuat. Menurutnya, perlu ada perimbangan, yaitu minyak goreng dan biosolar tidak langka tetapi para petani sawit tetap sejahtera. Untuk itu, diperlukan harmonisasi data yang akurat mengenai kebutuhan pasokan dalam negeri.
Dalam hal ini, kebijakan yang tepat sebenarnya sederhana, yaitu kuota ekspor atau pajak ekspor yang tegas sehingga terjadi perimbangan kepentingan menjaga pasar domestik sedangkan eksportasi juga terjamin; baik konsumen domestik dan petani produsen terselamatkan kepentingannya.
“Secara teknis, ini mudah sekali. Tetapi selalu saja yang merusak adalah para free riders; termasuk pejabat negara yang mengambil untung dalam ketimpangan pasar ini,” paparnya.
“Buktinya! seorang pejabat tinggi saja bisa melakukan eksportasi ilegal. Dan ini pasti berjamaah,” tambahnya.
Ia mengingatkan, komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti beras, minyak goreng tidak boleh diekspor atau impor secara bebas mengingat setiap tetesnya, setiap bulirnya, menyangkut urusan keadilan, kedaulatan, dan hak asasi manusia orang banyak.
Pemerintah bolak-balik melakukan perubahan kebijakan terkait minyak goreng. Sebelumnya diterapkan kewajiban domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Namun terjadi kelangkaan pasokan minyak goreng di pasar.
Kemudian muncul kebijakan baru dengan mengembalikan harga minyak goreng ke mekanisme pasar, kecuali harga minyak goreng curah yang dipatok Rp14.000. Namun ternyata harga di pasaran tetap jauh lebih tinggi. Dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka diputuskan larangan ekspor. Sayangnya, petani sawit menjadi korban.
Pewarta: Achmad Mukafi Niam
Editor: Syakir NF