LBM PBNU Bahas Hak untuk Dilupakan dari Mesin Pencarian dalam Perspektif Fiqih
Jumat, 19 September 2025 | 20:30 WIB
Bahtsul masail LBM PBNU di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (19/9/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerja sama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Kemenag RI menggelar kajian tentang Right to be Forgotten atau Hak untuk Dilupakan Mesin Pencarian dalam Perspektif Fiqih di kantor PBNU, Jl. Kramat Raya No. 164, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).
Ketua LBM PBNU KH Mahbub Maafi Ramdlan mengatakan bahwa yang pertama kali mengusulkan untuk membahas persoalan tersebut adalah A Ahsin Thohari—salah seorang pengurus LBM PBNU. Kemudian LBM berkali-kali mendiskusikan secara internal di dalam rapat-rapat.
“Dan setelah kita cari-cari ternyata memang di Indonesia khususnya belum ada lembaga fatwa atau belum ada fatwa atau keputusan yang bersifat fiqih terkait dengan soal hak untuk dilupakan dari mesin pencarian,” ujar Kiai Mahbub dalam sambutannya.
Baca Juga
Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok
“Ini artinya bahwa nanti hasil yang akan kita peroleh setidaknya akan memberikan sumbangsih terhadap khazanah fiqih di Indonesia atau perkembangan khazanah fiqih di Indonesia,” imbuhnya.
Mahbub menjelaskan bahwa hasil kajian LBM tersebut nantinya tidak serta merta menjadi keputusan sebelum ada verifikasi dari syuriyah PBNU. Sebagai lembaga, lanjutnya, LBM mempunyai kewajiban untuk membahas, dan hasilnya akan diserahkan kepada syuriyah PBNU.
Sementara itu, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Kementerian Agama (Kemenag) RI Arsad Hidayat menyebut bahwa pembahasan tersebut merupakan implementasi dari salah satu program prioritas Kemenag, yakni layanan keagamaan berdampak.
“Jadi, bentuk respons pimpinan umat beragama, dalam hal ini para ulama, terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi, ini merupakan salah satu bentuk layanan yang berdampak,” ujar Arsyad.
“Kenapa layanan berdampak? Karena ini akan menjadi referensi, akan menjadi pegangan dalam kaitannya para decision maker untuk membuat kebijakan, yang itu nanti diimplementasikan untuk masyarakat,” imbuhnya.
Dalam penilaian Arsad, pembahasan tersebut menjadi penting mengingat Indonesia mayoritas beragama Islam, yang banyak hal terkait dengan isu-isu permasalahan sosial selalu dihubungkan dengan hukum agama.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa mengatakan bahwa tradisi bahtsul masail yang diadakan oleh para ulama, terutama dalam hal memahami dan mengkritisi undang-undang yang dibuat oleh pemerintah, adalah bagian dari tanggung jawab keagamaan dan sekaligus tanggung jawab kebangsaan yang dimiliki oleh ulama-ulama NU.
“Para ulama memandang, undang-undang ini, misalnya, secara agama kok bertentangan, maka NU perlu melakukan judicial review,” ujar Kiai Zulfa.
“Tapi kalau nanti dianggap oleh peserta bahtsul masail, undang-undang ini sudah pas, ya tentunya kita harus—apa namanya—berlaku adil, akan mengatakan bahwa undang-undang ini sudah pas,” imbuhnya.
Hal yang penting, sambung Kiai Zulfa, adalah mendengarkan narasumber yang dihadirkan untuk mengulas persoalan tersebut. Ia mengaku tidak memahaminya secara mendetail. Untuk itu, Kiai Zulfa mengajak peserta untuk mendengar detailnya dari para pakar dalam proses yang disebut tahqīqil manāth.
“Tahqīqil manāth itu mencoba mendengar; sebenarnya apa permasalahan yang terjadi, dan kemudian permasalahan itu harus kita sesuaikan dengan illat hukum; apakah sesuai dengan illat hukum ketika kita mengatakan itu boleh atau tidak boleh,” jabar Kiai Zulfa.
“Sebab, tanpa mengetahui terlebih dahulu, kita tidak bisa kemudian memberikan pandangan hukum,” lanjut kiai alumni Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.
Tak lupa, Kiai Zulfa mengajak peserta untuk sering mengadakan bahtsul masail. “NU itu dulu seringnya bahtsul masail. Tapi sekarang ini kita lagi sering dibahas, dibahtsulmasailkan,” ujarnya, yang membuat para peserta tertawa.
Usai pembukaan, para pengurus LBM dan peserta bahtsul masail menyimak presentasi dari tiga narasumber ahli untuk memahami persoalan secara menyeluruh (konprehensif). Dipandu oleh Alhafiz Kurniawan, ketiga narasumber tersebut, yakni A Ahsin Thohari dari LBM PBNU, Nurul Izmi dari ELSAM, dan Indi Saptaningrum dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), memaparkan pandangannya dari perspektif masing-masing secara bergantian. Empat pertanyaan dari peserta pun muncul dan lalu dijawab narasumber.
Setelah mendengarkan dan menyimak pemaparan ketiga narasumber, para peserta membahas persoalan yang menjadi tema forum ini, seperti telah disebutkan di atas. Hingga berita ini ditulis, proses diskusi dan pembahasan belum selesai—masih berlangsung.