Liga Santri Nusantara dan Pelajaran dari Sepak bola Jerman
Jumat, 27 Oktober 2017 | 04:55 WIB
Saban mendengar pejabat yang berurusan dengan sepak bola mengatakan ingin membawa Indonesia tembus Piala Dunia, atau kepingin mengontrak pelatih kelas dunia, saya selalu refleks nyengir kecut buat meredakan ambruknya harapan terhadap kemajuan sepak bola nasional. Perkataan besar dan muluk tanpa melihat kondisi nyata buat saya seperti upaya buat menutupi kemiskinan visi yang detail dan rapi.
Perkara masuk Piala Dunia, semua penggemar sepak bola tanah air pasti gembira kalau bisa terwujud. Tapi melihat kenyataan manajemen sepak bola nasional yang masih amburadul, menjanjikan lolos Piala Dunia tak ubahnya menyanyikan lagu Nina Bobo buat orang yang kelaparan. Sama sekali bukan solusi.
Perkara pelatih, memang ada masa dan kasus-kasus khusus ketika figur pelatih seperti menjadi juru selamat. Sebagai contoh, Bela Guttman yang jauh-jauh “kesasar” dari Hungaria ke Brazil pada dekade 1950-an, lalu pergi dengan meninggalkan warisan hebat bagi sepak bola negara Amerika Latin tersebut. Ia memberikan tujuan bermain kepada para pesepak bola Brazil yang doyan berakrobat dengan bola tanpa peduli hasil. Sejarawan sepak bola Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid menggambarkan dengan asyik bagaimana permainan operan yang diwariskan Guttman mengubah Brazil dari sekadar “tim sirkus” yang skill individunya mencolok tapi gampang kalah, menjadi kampiun Piala Dunia tahun 1958.
Tapi sepak bola modern sudah melampaui fase naif seperti itu. Begitu banyak variabel yang ikut menentukan kesuksesan sebuah tim. Mustahil bergantung kepada seorang pelatih belaka buat menjamin Dalam sepak bola modern, pelatih super seperti Jose Mourinho dan Pep Guardiola pun tak mungkin berjaya dengan modal kosong.
Memang ada kasus mengagetkan seperti kejayaan Leicester City di Liga Primer Inggris musim 2015-2016. Kredit besar mesti dialamatkan kepada Pelatih Claudio Ranieri buat kesuksesan tersebut. Tapi kondisi Leicester saat ini mengajarkan bahwa kesuksesan sepak bola mustahil bisa dipertahankan dengan hanya mengandalkan satu figur.
Kejayaan sepak bola yang konsisten dibangun di atas landasan yang kompleks dan terencana dengan baik. Landasan ini di antaranya meliputi kompetisi yang baik, regulasi kuat dan konsisten, sampai pembinaan pemain muda sejak usia belasan tahun. Melalui gambaran umum dan melihat landasan persepak bolaan nasional sejauh ini, kita bisa meraba bahwa lolos ke Piala Dunia dalam waktu dekat ini masih jadi mimpi yang kelewat jauh.
Kita bisa menengok pengalaman Jerman yang sempat merasakan pengalaman hancur-lebur ketika tersingkir di babak awal Piala Eropa 2000. Semua orang kaget melihat sepak bola Jerman jatuh sampai titik terendah untuk ukuran mereka. Pada kenyataannya krisis tersebut bisa dirunut cukup jauh dari dua dekade sebelumnya. Uli Hesse dalam Tor menjelaskan bahwa pembinaan pemain muda yang payah dan infrastruktur sepak bola yang ketinggalan zaman, memberi saham besar dalam persoalan regenerasi pemain Jerman.
Penunjukkan Franz “Der Kaiser” Beckenbauer, anak emas dan Kaisar sepak bola Jerman, sebagai pelatih timnas Jerman adalah semacam langkah panik Deutscher Fussball-Bund (DFB), federasi sepak bola Jerman, untuk menutupi kerapuhan sepak bola Jerman. Meskipun Beckenbauer berhasil menambah koleksi Piala Dunia Jerman, tapi kanker yang menggerogoti sepak bola negerinya Wolfgang Goethe itu tinggal menunggu waktu untuk muncul.
Tahun 2000, ketika masalah terbuka secara telanjang, DFB akhirnya mengambil langkah pembenahan besar-besaran. Klub-klub profesional diberi pilihan, membangun akademi pemain muda yang berkualitas atau ditendang dari liga. Biaya besar dikucurkan untuk melakukan pembenahan infrastruktur. Hasilnya, trofi Piala Dunia 2014 digondol dengan meyakinkan. Yang mutakhir, kesuksesan menjuarai Piala Konfederasi FIFA 2017 tanpa satu pun pemain yang berusia 30 tahun atau lebih. Selain itu Jerman saat ini dikenal sebagai salah satu penghasil bakat muda terbaik. Klub-klub Jerman juga diketahui sebagai pelopor penggunaan teknologi sepak bola mutakhir belakangan ini.
Level sepak bola kita saat ini tentu terpaut jauh dari Jerman. Tapi pengalaman Jerman dalam membenahi sepak bola bisa jadi tempat kita berkaca. Jerman pernah mengambil solusi instan yang beracun, menyamarkan persoalan dengan figur populer. Kita bisa kejeblos di lubang yang sama kalau belum apa-apa sudah ngomong Piala Dunia dan pelatih kelas dunia. Akan lebih realistis kalau pemegang kebijakan menaruh perhatian pada detail-detail terkait pembinaan usia muda, pembenahan infrastruktur, sambil membereskan liga nasional.
Dalam konteks sepak bola usia muda, kehadiran Liga Santri Nusantara (LSN) yang sudah digelar berturut-turut tiga tahun belakangan ini, bisa menjadi salah satu alternatif bagi pembinaan usia di bawah 17 tahun berskala nasional. Capaian paling ikonik sampai saat ini adalah dipanggilnya alumnus LSN M. Rafli ke dalam skuad timnas usia 19 tahun. Meskipun masih bisa dibilang kasuistik, tapi fenomena ini menunjukkan bahwa kalangan santri bisa menjadi alternatif lumbung bakat sepak bola. Apalagi di tengah kembang-kempisnya penyelenggaraan Piala Soeratin, yang baru kembali digelar tahun ini setelah hiatus beberapa tahun.
Sebagai kompetisi baru, masalah di sana-sini pasti masih terjadi di LSN. Yang cukup mencolok di antaranya adalah standar kualitas tim-tim kontestan yang kurang merata. Tapi seperti sempat ditunjukkan Direktur Kompetisi LSN, M. Kusnaeni, seiring semakin ketatnya regulasi pemain, pemerataan standar kian membaik. Pesantren-pesantren di berbagai daerah juga tergerak membenahi kualitas sepak bola santrinya masing-masing. DDI Kaballangan, misalnya, mengaku bahwa mereka mempersiapkan skuad selama setahun untuk LSN 2017. Hasilnya tiga laga grup mereka sapu bersih dengan rekor mencetak 16 gol.
Selain memacu kalangan pesantren untuk memompa kualitas sepak bola, LSN juga berpotensi menggerakkan elemen sepak bola di luar lingkungan pesantren. Seperti dikatakan Sekertaris LSN Jibril FM, di beberapa regional dan subregional terjadi fusi antara kualifikasi LSN dengan kompetisi sepak bola setempat. Pemenangnya mendapat gelar juara, sekaligus berhak mewakili wilayahnya berpartisipasi di LSN babak selanjutnya.
Upaya pembinaan usia muda semacam ini mesti menempati skala prioritas yang tinggi. Jika kompetisi semacam LSN terus digulirkan secara rutin dan dibenahi secara konsisten, bukan mustahil Rafli-Rafli selanjutnya akan menyusul mentas ke level lebih tinggi. Setidaknya mimpi seperti itu buat sekarang lebih realistis, dibanding slogan kosong lolos Piala Dunia dan pelatih kelas dunia. (Ahmad Makki/Abdullah Alawi)