Nasional

LPTNU Sebut Perbedaan Perlakuan Pemerintah Pengaruhi Kualitas Perguruan Tinggi di Indonesia

Kamis, 20 November 2025 | 13:00 WIB

LPTNU Sebut Perbedaan Perlakuan Pemerintah Pengaruhi Kualitas Perguruan Tinggi di Indonesia

Ilustrasi pendidikan tinggi. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Di tengah surplus perguruan tinggi, Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU), M. Faishal Aminudin menyinggung kesenjangan kualitas antara sebagian kecil perguruan tinggi unggulan dan ribuan kampus lainnya yang masih berjuang memenuhi standar dasar.

 

Menurutnya, ketimpangan tersebut tidak lepas dari perbedaan perlakuan negara terhadap PTN berstatus Badan Hukum (PTNBH) dibandingkan perguruan tinggi lain.


PTNBH, kata Faishal, masih menerima berbagai fasilitas dan dukungan negara, sekaligus memiliki hak untuk menarik dana dari masyarakat. Kondisi tersebut membuat sumber daya, laboratorium, pendanaan operasional, dan kesejahteraan dosen di kampus-kampus itu jauh lebih baik. Sementara itu, lanjutnya, banyak PTS bahkan yang dulu sempat berjaya kini harus berjibaku mendapatkan mahasiswa baru karena sebagian besar terserap ke PTN.


“Mereka harus berjuang menutup kebutuhan operasional secara mandiri. Untuk membangun fasilitas saja harus berutang ke bank dengan risiko gagal bayar karena jumlah mahasiswa tidak mencukupi atau kemampuan bayar mahasiswa tiba-tiba turun. Inilah kesenjangan yang makin melebar dan belum ada solusi yang benar-benar jelas,” jelas Faishal kepada NU Online Senin lalu di Jakarta.


Menurut Faishal perlunya penegakan rasio dosen dan mahasiswa secara jujur dan ketat. Jika rasio tersebut dipatuhi, kapasitas penerimaan mahasiswa akan lebih terukur dan mutu pembelajaran lebih terjaga.


Ia juga mendorong perbaikan ekosistem akademik melalui pengaturan beban tri dharma dosen yang seimbang, pengurangan beban administrasi, serta penguatan otonomi perguruan tinggi agar lebih fokus pada pengembangan keilmuan.


Beda Perlakuan PTN dan PTS

Pada level kebijakan, Faishal menilai pemerintah perlu memperjelas perlakuan berbeda antara PTN dan PTS. Ia mencontohkan, PTN seharusnya diarahkan untuk memperluas akses pendidikan tinggi bagi masyarakat di wilayah masing-masing.


Dengan begitu, PTN di Jawa Timur misalnya, harus memberi porsi terbesar penerimaan mahasiswa dari daerah tersebut dengan standar nilai yang disesuaikan, sementara pendaftar dari luar wilayah dapat melalui mekanisme seleksi yang lebih kompetitif.


Dari sisi pendanaan, Faishal menegaskan bahwa negara idealnya menanggung setidaknya 90 persen kebutuhan operasional PTN, sementara sisanya dapat diperoleh melalui skema hibah kompetisi. Dengan model seperti ini, PTS akan memiliki ceruk pasar yang lebih jelas dan dapat berperan sebagai mitra negara dalam menyediakan layanan pendidikan tinggi bermutu.


“Asosiasi perguruan tinggi juga perlu lebih kuat. Mereka harus memainkan peran mengontrol dan menjaga standar mutu anggotanya. Selama ini banyak rekomendasi sudah disampaikan, tapi belum banyak kebijakan yang berubah,” ujarnya.


Faishal menjelaskan bahwa masyarakat sebagai penerima layanan pendidikan tinggi seharusnya diberikan lebih banyak pilihan. Negara wajib memastikan kesetaraan kesempatan melalui skema beasiswa seperti KIP Kuliah, yang memungkinkan mahasiswa tidak mampu masuk ke PTS bermutu jika tidak lolos PTN.


Indonesia, menurutnya, bisa memilih model serupa dengan penyesuaian. Salah satu alternatifnya adalah menyatukan definisi PTN, tidak seperti saat ini yang terbagi menjadi PTNBH, BLU, dan Satker. Jika PTN ditopang 90 persen biaya operasional oleh negara, ketidakmampuan anggaran bisa diatasi melalui efisiensi, seperti mengurangi jumlah staf, memangkas posisi pejabat, atau menyederhanakan kegiatan seremonial.


Di sisi lain, PTS perlu diberikan kewenangan lebih luas untuk mencari sumber pendanaan nonpemerintah dan memperoleh akses setara terhadap hibah penelitian kompetitif. Dengan pendekatan pasar yang dikelola (managed market), keseimbangan antara PTN dan PTS dapat tercapai tanpa mematikan satu sama lain.


“Iklim akademik belum terbentuk. Dosen menghabiskan waktu untuk mencari pendapatan tambahan karena gaji kecil, lalu terbebani urusan administratif yang tak henti. Akses pendanaan riset juga terbatas,” jelasnya.


Tak Boeh Hanya Jadi Tempat Cari Gelar

Ia menyebut kesenjangan kualitas kian melebar antara sebagian kecil PTN unggulan terutama yang berstatus PTN Badan Hukum dengan ribuan perguruan tinggi (PT) lainnya. PTNBH dinilai memiliki keistimewaan ganda, yaitu mendapatkan fasilitas dan pendanaan negara, sekaligus bisa menarik sumber pendanaan dari masyarakat dan industri.


Sementara itu, banyak PTS terpaksa berjuang mempertahankan operasional dasar. Bahkan PTS yang dulu pernah berjaya kini kesulitan bersaing karena mahasiswa terserap ke PTN. Banyak kampus harus berutang untuk membangun fasilitas, tetapi risiko gagal bayar tinggi karena jumlah mahasiswa tidak stabil.


“Ini kesenjangan yang semakin lebar dan belum ada solusi jelas dari pemerintah,” tegasnya.


Ia menilai pemerintah perlu menegaskan kembali posisi kebijakan antara PTN dan PTS. Misalnya, jika PTN bertugas memperluas akses, maka penerimaan mahasiswa harus memprioritaskan wilayah sekitarnya, seperti PTN di Jawa Timur yang menerima mayoritas mahasiswa dari provinsi tersebut.


“Jika Indonesia ingin berubah, harus ada perombakan kebijakan besar. PTN perlu satu definisi tunggal, dukungan anggaran jelas, dan efisiensi yang ketat. PTS diberi ruang pasar yang sehat dan pengawasan mutu yang tegas,” ujarnya.


“Kampus tidak boleh hanya menjadi tempat mencari gelar. Ia harus menjadi pusat produksi ilmu pengetahuan. Kalau tidak, kita hanya bangga pada jumlah, tetapi miskin pada kualitas,” pungkasnya.