Nasional

Mantan Tapol dan Napol Dukung Pembentukan Serikat Tahanan Politik Indonesia

Kamis, 9 Oktober 2025 | 11:30 WIB

Mantan Tapol dan Napol Dukung Pembentukan Serikat Tahanan Politik Indonesia

Wilson Obrigados. (Foto: Facebook Wilson)

Jakarta, NU Online

Sebanyak 27 tahanan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya membentuk Serikat Tahanan Politik Indonesia (STPI) pada 4 Oktober 2025. Pembentukan serikat ini menjadi respons atas dugaan penyiksaan terhadap salah satu tahanan, sekaligus bentuk solidaritas sesama tahanan politik dalam memperjuangkan hak-hak mereka selama proses hukum berlangsung.


Serikat yang diketuai oleh Syahdan Husein, aktivis Gejayan Memanggil, ini bertujuan menjadi wadah aspirasi serta sumber informasi autentik mengenai kondisi tahanan politik di berbagai daerah. Para tahanan juga menyerukan kepada seluruh tahanan politik di Indonesia untuk bergabung memperkuat jaringan solidaritas tersebut.


Menyikapi pembentukan serikat ini, para mantan tahanan politik (Tapol) dan narapidana politik (Napol) dari berbagai periode kekuasaan otoriter di Indonesia menyampaikan pernyataan sikap bersama pada 9 Oktober 2025 di Jakarta.


Dalam pernyataan yang diterima NU Online, mereka menegaskan tiga poin utama:

  1. Mendukung dan menyambut baik terbentuknya Serikat Tahanan Politik Indonesia serta mendorong pembentukan serikat serupa di berbagai daerah;
  2. Mengecam tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap tahanan selama pemeriksaan dan interogasi; dan
  3. Menuntut penghentian kriminalisasi aktivis dan pembebasan seluruh tahanan politik tanpa syarat.


Pernyataan tersebut ditandatangani oleh sebelas mantan Tapol dan Napol, antara lain Tri Agus Siswa Santoso, Petrus H Harianto, Wilson Obrigados, Surya Anta, Victor Yeimo, dan Coen Husain Pontoh. Mereka menutup pernyataannya dengan kalimat tegas: “Penjara tak membuat kami jera. Terus melawan!”


Salah satu penandatangan pernyataan, Wilson Obrigados, menilai dukungan terhadap pembentukan STPI bukan hanya soal solidaritas, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap kembalinya praktik otoritarianisme di Indonesia.


“Banyak peneliti dan aktivis mengatakan bahwa Indonesia mengalami regresi demokrasi. Bahkan saya menyebutnya sebagai era neo-Orba,” ujarnya saat dihubungi NU Online, Kamis (9/10/2025).


Menurut Wilson, tanda-tanda kemunduran demokrasi tampak dari cara aparat menindak aksi-aksi mahasiswa di berbagai kota. 


“Hak demokratis kini dijawab dengan kriminalisasi, meneror hak untuk bersuara. Belum setahun berkuasa, rezim Prabowo sudah menangkapi ribuan orang. Ini rezim terburuk pasca-Reformasi,” tegasnya.


Dalam pandangannya, dukungan terhadap serikat tahanan politik harus menjadi bagian dari perjuangan masyarakat sipil menolak kekuasaan yang menindas.


“Masyarakat sipil jangan takut menyuarakan kritik dan sikap oposisi atas legislatif dan eksekutif, baik pusat maupun daerah,” kata Wilson.


Ia juga menilai bahwa perlawanan rakyat di tingkat lokal, seperti yang dilakukan warga Kabupaten Pati menolak proyek tambang, menunjukkan bahwa “rakyat berdaulat seratus persen.”


Wilson menegaskan bahwa jika kekuasaan terus menutup telinga terhadap suara rakyat, bukan tidak mungkin muncul perlawanan rakyat seperti yang terjadi di Nepal sebuah simbol penggulingan rezim yang lahir dari akumulasi ketidakadilan.


"Kalo oligarki masih tak mau dengar, jangan salahkan kalau suatu hari di-'Nepalkan' atau pengadilan rakyat seperti era revolusi di tiga daerah," pungkasnya.