Jakarta, NU Online
Masjid di Indonesia perlu dibangun dengan konsep inklusif agar ramah bagi semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas, anak-anak, dan lansia.
Hal ini disampaikan Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah (Urais Binsyar) Kementerian Agama RI, Arsyad Hidayat, dalam Focus Group Discussion (FGD) Kemasjidan bertema Masjid Berdaya dan Berdampak (MADADA) yang digelar di Hotel Erian, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
“Masjid inklusif sudah lama menjadi tema diskusi. Banyak kelompok difabel menghendaki masjid di Indonesia ramah terhadap mereka. Faktanya, penelitian P3M menunjukkan lebih dari 80 persen masjid kementerian/lembaga tidak ramah difabel,” ujarnya.
Menurut Arsyad, sebagian besar masjid masih sulit diakses penyandang disabilitas, terutama pengguna kursi roda. Banyak masjid hanya menyediakan tangga tanpa akses alternatif.
“Akibatnya, mereka tidak bisa shalat berjamaah bersama jamaah lainnya. Ke depan, kita harus membangun masjid yang terbuka dan ramah untuk semua,” tambahnya.
Ia menekankan, inklusivitas masjid bukan hanya untuk difabel, tetapi juga ramah anak, ramah lansia, dan ramah terhadap perbedaan.
Arsyad menyoroti praktik sejumlah masjid yang melarang anak-anak bermain sehingga membuat mereka takut datang ke masjid.
Ia mencontohkan sebuah masjid yang pernah disinggahinya di Riau yang menghadirkan kolam ikan koi agar anak-anak merasa nyaman di lingkungan masjid.
"Mereka lebih senang duduk-duduk di kolam, kakinya dimasukkan ke kolam, kemudian digigit ikan. Ini salah satu cara supaya anak-anak tetap berada di masjid, tanpa harus menghilangkan kebiasaan mereka untuk bermain. Karena dengan memasukkan kakinya ke dalam air, mereka merasa nyaman, mereka merasa bahwa mereka juga diberikan kesempatan untuk bermain," katanya.
Lebih lanjut, Arsyad menyinggung praktik baik Masjid Raya Bintaro Jaya (MRBJ) yang sudah menerapkan konsep MADADA. MRBJ menyediakan pinjaman lunak tanpa bunga untuk masyarakat tidak mampu, mengembangkan UMKM, hingga membina SDM pengelola masjid.
“Banyak mustahik yang akhirnya naik status menjadi muzakki. Masjid seperti ini benar-benar memberikan dampak nyata,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pembinaan SDM pengelola masjid agar tata kelola lebih transparan dan profesional.
“Fenomena masjid menunggu bantuan itu banyak terjadi. Padahal masjid bisa berdaya dan bahkan menopang jamaahnya,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Arsyad mengingatkan agar pengembangan masjid tidak hanya dinilai secara kualitatif, tetapi juga kuantitatif.
"Dari sekitar 700 ribu masjid dan mushala, harus jelas berapa yang sudah inklusif, berdaya, dan berdampak. Jangan lagi ukurannya sekadar ‘baik’ atau ‘cukup’, tapi harus angka,” tegasnya.
Selain itu, ia menyinggung program Fashalatan yang ditujukan bagi generasi tua untuk meningkatkan literasi keagamaan, dengan metode pembelajaran sederhana melalui buku maupun video.
“Ada sebuah survei yang menyatakan bahwa generasi Z punya literasi keagamaan yang bagus tapi malas beribadah. Sementara generasi baby boomers semangat ibadahnya tinggi tapi ilmunya minim. Program Fashalatan ini jadi jembatan bagi mereka,” terang Arsyad.
Ia berharap, gagasan inklusif, berdaya, dan berdampak bisa menjadi acuan dalam blueprint kemasjidan 2025-2029.
"Mudah-mudahan ke depan semakin banyak masjid yang tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan umat,” pungkasnya.