Media Sosial Jadi Platform Paling Berpengaruh Sebar Intoleransi di Kalangan Gen Z
Jumat, 22 Desember 2023 | 13:00 WIB
Syiva Amadea Isthifa, Delegasi Universitas Brawijaya saat ditemui NU Online dalam sesi paralel Konferensi Asia-Afrika dan Amerika Latin: Agama dan Kemanusiaan, di Hotel Savoy Homann, Bandung, Kamis (21/12/2023).
Bandung, NU Online
Pengaruh media sosial berperan penting dalam menyebarkan intoleransi beragama di kalangan Generasi Z (Gen Z) atau anak-anak muda yang lahir pada periode tahun 1996-2012.
Hal ini menjadi temuan dari Delegasi Universitas Brawijaya, Syiva Amadea Isthifa dalam sesi paralel Konferensi Asia-Afrika dan Amerika Latin: Agama dan Kemanusiaan, di Hotel Savoy Homann, Bandung, Kamis (21/12/2023).
Ia mengungkap dampak signifikan media sosial terhadap penyebaran intoleransi beragama di kalangan Gen Z. Dalam risetnya, Syiva menyoroti berbagai perilaku intoleransi yang muncul dari platform media sosial.
"Pengaruh media sosial berperan penting dalam menyebarkan intoleransi beragama di kalangan Gen Z," kata Syiva kepada NU Online.
Menurut Syiva, pesatnya perkembangan teknologi telah menjadi katalisator bagi penyebaran ideologi intoleransi. Ketergantungan masyarakat pada komunikasi digital juga berdampak pada isolasi sosial, sementara kurangnya mekanisme kontrol sosial meningkatkan ancaman intoleransi melalui media digital.
Mengutip riset Ellyn Briggs (2023), ia menyebut bahwa 54 persen Gen Z menghabiskan setidaknya empat jam setiap hari berinteraksi dengan media sosial. Platform ini menjadi wahana utama untuk perilaku intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi muda.
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama tercatat tertinggi dalam 10 tahun terakhir (Taufiqurrohman, 2017), meningkatkan kerentanan Gen Z terhadap hoaks, ujaran kebencian, dan perilaku intoleransi.
Menurutnya, terdapat sejumlah faktor penyebab perilaku intoleransi, termasuk sosial ekonomi, budaya, kesenjangan kekayaan, pendidikan, dan politik, yang membentuk cara pandang dan perilaku Gen Z. Oleh karena itu, peningkatan literasi digital melalui edukasi tentang hoaks dan informasi menyesatkan menjadi sangat penting.
Selain itu, Syiva menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, perusahaan teknologi, dan pemangku kepentingan untuk menetapkan pedoman dan mekanisme yang jelas.
Dia juga menyebut peran penting local influencer (pemengaruh lokal) dalam mengedukasi masyarakat, terutama Gen Z, mengenai moderasi beragama. Syiva berpendapat bahwa melalui pendekatan yang tepat, program moderasi beragama dapat disosialisasikan hingga ke kalangan anak muda, sehingga mereka dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai moderasi beragama secara positif.
"Perlu ada peran dari local influencer. Kenapa kita tidak menerapkan moderasi beragama ini melalui KOL tersebut yang basisnya sudah mengedukasi soal Islam ini," kata dia.