Jakarta, NU Online
Pandemi Covid-19 sangat memberikan dampak mengejutkan dalam kehidupan di dalam keluarga karena semuanya tiba-tiba berubah dengan drastis. Hal ini tentu saja menjadikan seluruh anggota keluarga kebingungan untuk bagaimana menata kehidupan agar tetap bertahan menghadapi pandemi, terutama dalam melakukan pendidikan bagi anak.
Bagi Pakar Tasawuf KH M Luqman Hakim, pandemi Covid-19 haruslah menjadi sebuah refleksi bersama untuk merenungkan dan menemukan cara pandang hidup yang baru. Lebih khusus, pandangan hidup ke depan bagi anak-anak di rumah.
Menurutnya, pendidikan anak di rumah pada usia tujuh sampai 10 tahun merupakan sesuatu yang paling berpengaruh bagi pertumbuhan anak. Di rentang waktu empat tahun inilah, anak mesti diberikan pemahaman soal bagaimana menghadapi hidup.
Namun, Kiai Luqman menekankan bahwa pendidikan bagi anak di rumah bukan hanya soal proses intelektualisasi. Tapi lebih jauh dari itu, ia menitikberatkan pada pembentukan watak dan karakter.
"Orang tua harus mengarahkan anak agar tidak terlalu hubbud dunya (cinta dunia), misalnya. Ini pendidikan karakter dan watak namanya," ungkap Kiai Luqman dalam webinar bertajuk Pandemic Parenting: Merasakan Peran Orang Tua di Masa Pandemi.
Ia menyayangkan, karakter dan watak yang terbangun pada generasi saat ini cenderung hanya mencintai dunia saja. Jika ditanya soal hidup bahagia, kata Kiai Luqman, anak-anak sekarang pasti akan menjawab perkara keduniaan.
"Ini terbangun di generasi kita. Ketika mereka ditanya, misalnya, mau jadi apa? Rata-rata jawabannya pasti berbau duniawi. Ini kalau dibiarkan maka nanti akan terjadi eskalasi konflik besar-besaran tentang masa depan kemanusiaan di dunia," katanya.
Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh orang tua. Namun, ditegaskan Kiai Luqman, suatu perubahan besar yang ingin ditanamkan kepada anak haruslah dimulai dari sekarang, saat ini juga. Artinya, mulai dari diri sendiri bahwa membangun cita-cita anak haruslah dengan menanamkan kebesaran jiwa.
"Jiwa besar itu landasan besarnya adalah religiusitas atau keagamaan yang kita berikan kepada anak-anak itu nanti. Sejauh mana dia (anak) memiliki spirit untuk membangun cara pandang hidup," katanya.
Pengasuh Pesantren Raudhatul Muhibbin, Caringin, Bogor ini menegaskan bahwa jangan sampai anak-anak tumbuh menjadi remaja yang kemudian melakukan proses pencarian jati diri tanpa memiliki jiwa besar yang telah ditanamkan orang tua.
Karena jika demikian, anak tersebut akan memiliki pandangan hidup yang tidak bisa menerima perspektif orang lain. Hal itu lantaran mereka tidak memiliki jiwa besar. Inilah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi orang tua untuk memberikan pemahaman dan pendidikan karakter bagi anak, terutama di masa-masa sulit seperti sekarang ini.
Untaian bijak Ibnu Athaillah
Lebih jauh, Kiai Luqman juga memberikan rasa penyesalan terhadap kondisi generasi muda sekarang yang lebih senang berbuat maksiat daripada taat kepada Allah. Ia kemudian mengutip untaian kata bijak dari Ibnu Athaillah dalam Kitab Al-Hikam.
Dikatakan bahwa sumber dari maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah karena kerelaan atau adanya keinginan untuk terus-menerus memuaskan hawa nafsu. Sementara sumber segala ketaatan, kesabaran, dan budi pekerti adalah adanya pengendalian terhadap hawa nafsu.
Kiai Luqman menjelaskan bahwa maksiat adalah sebuah sikap yang tumbuh dengan sangat kontras terhadap nilai-nilai kebenaran, kebajikan, dan ketuhanan. Menurutnya, saat ini sedang terjadi kemaksiatan yang dilakukan anak.
"Sekarang anak-anak muda tiba-tiba ketika diajak untuk patuh kepada Tuhan, malasnya bukan main. Dianggap itu hanya sesuatu yang numpang lewat. Diajak ibadah malasnya bukan main. Ini yang disebut maksiat," ungkapnya, miris.
Menurutnya, maksiat tersebut diakibatkan karena kelalaian, sembrono, abai, dan menganggap remeh terhadap sesuatu yang penting seperti beribadah kepada Allah. Kemudian, tutur Kiai Luqman, syahwat yang disebut oleh Ibnu Athaillah itu bermakna sebuah keinginan yang ingin serba senang atau hedonis.
"Perilaku tersebut tentu saja akan membuat anak tumbuh menjadi seorang yang pemalas karena yang dipikirkan hanya yang enak-enak saja. Kalau dihadapkan pada sesuatu yang tidak enak, emosinya akan muncul dan memiliki bentuk perlawanan," katanya.
Kiai Luqman menjelaskan bahwa nafsu menjadi faktor terbesar yang menjadi penghalang dari pembangunan peradaban umat manusia. Katanya, para sufi terdahulu telah mengurai ada seratus akhlak-akhlak tercela.
Namun, akhir-akhir ini nafsu berhasil dieksplor dan dianggap sebagai sesuatu yang menuju kemajuan. Bahkan, kata Kiai Luqman, banyak pihak yang memanfaatkan nafsu itu untuk kepentingan ekonomi, dan bahkan politik.
"Padahal itu adalah akar dari tiga hal itu (maksiat, lalai, dan syahwat). Karena tiga hal ini adalah unsur yang menghancurkan kemanusiaan," ucapnya.
Dengan kata lain, orang tua bertugas untuk mendidik anak agar jangan sampai tumbuh dengan berbagai pemanjaan-pemanjaan. Sebab jika itu dilakukan maka anak akan tumbuh dengan sikap anti terhadap kedisipilinan. Lebih jauh, mereka tidak akan pernah mampu untuk berjuang mengarungi kehidupan.
Sebaliknya, Ibnu Athaillah pun menyatakan bahwa sumber dari segala ketaatan, kesabaran, dan budi pekerti adalah karena adanya pengendalian terhadap hawa nafsu. Kiai Luqman menegaskan bahwa hal ini harus menjadi materi pendidikan bagi orang tua agar anak tumbuh dengan ketaatan kepada Allah.
Cara-cara mendidik anak yang telah diterangkan itu, Kiai Luqman meminta agar disebarkan pula kepada orang-orang di sekitar. Ia berpesan jangan sampai anak kita tumbuh dengan baik sedangkan anak tetangga tidak baik.
"Nanti ketika dewasa yang terjadi adalah anak-anak mereka itu akan memusuhi anak-anak kita karena punya cara pandang yang berbeda atau penuh dengan keburukan-keburukan," pungkas Kiai Luqman.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan