Membangun Keluarga Berarti Membangun Anggota-anggota di Dalamnya
Sabtu, 17 April 2021 | 09:00 WIB
Situbondo, NU Online
Membangun keluarga berarti membangun anggota-anggota di dalamnya. Pasangan perlu menyusun atau merencanakan agar anggota keluarganya satu sama lain memiliki sikap, prinsip, dan relasi yang mubâdalah atau kesalingan. Sebab, pernikahan itu mempertemukan 'aku dan kau menjadi kita', sehingga satu sama lain siap membangun keluarga dengan baik.
Demikian beberapa poin yang disampaikan oleh Kiai Faqihuddin Abdul Qadir terkait karya terbarunya Manba’ussa’âdah fi Asasi Husnil Mu’âsyarah wa Ahammiyyati at-Ta’âwun wa al-Musyârakah fi Hayât az-Zaujiyyah. Pembahasan buku ini disampaikan saat pembukaan Kelas Intensif Ramadhan 1442 H bertajuk Kursus Keluarga Bahagia Berbasis Kitab Manba’ussa’âdah’, Jumat (16/4).
Kiai Faqihuddin menjelaskan kitab ini membahas beberapa konsep universal tentang bagaimana membangun rumah tangga yang harmonis dengan spirit cinta dan kasih sayang. Hal itu menurutnya dapat terejawantahkan dengan menjunjung tinggi keadilan (al-‘adl), kesetaraan (al-musâwah), saling menghargai (al-ihtirâm), solidaritas (at-ta’âwun). Dengan begitu, konsep Al-Qur’an yang dikenal dengan mu’âsyarah bil ma’rûf atau husnul mu’âsyarah (keharusan untuk memperlakukan pasangan atau sesama dengan baik), dapat diimplementasikan secara masif dalam berumah tangga.
Karyanya yang berbahasa Arab ini adalah sebuah risalah atau karya ringkas yang secara umum membahas tentang husnul mu’âsyarah (berinteraksi sosial dengan baik), at-ta’âwun (solidaritas) dan konsep mu’âdalah atau musyârakah (kesalingan) dalam hubungan suami-istri. Di awal pengantar dalam kitabnya, ia menceritakan latar belakang lahirnya kitab tersebut yang bermula dari permintaan banyak simpatisan, sahabat-sahabat santri di berbagai pesantren, dan para peserta dalam acara-acara seminar intelektual.
Kiai Faqihuddin menyampaikan, karyanya itu merupakan sesuatu yang cukup komprehensif untuk membangun peradaban yang lebih baik, khususnya relasi antar suami-istri dalam suatu rumah tangga. Melalui kitab ini, para pembaca, peneliti, dan seluruh masyarakat pada umumnya diharapkan memiliki atensi yang kuat terhadap relasi sosial, terutama hubungan keluarga yang berbasis kesalingan. Jangan sampai ada salah satu anggota keluarga yang merasa tidak nyaman, terkekang dari hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Sehingga, dalam sebuah keluarga, terutama suami-istri bisa saling menguatkan dan saling membahagiakan.
"Jadi, kitab ini, bagaimana kita punya perhatian yang cukup, yang kuat, agar kehidupan berkeluarga, terutama pasangan suami-istri dari kedua belah pihak saling menguatkan, merasakan bahagia, dan mampu membahagiakan, itu secara umum," ungkapnya.
Poin inti yang ingin disampaikan oleh penulis buku ‘Qirâ’ah Mubâdalah, Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam’ ini, bahwa melalui pernikahan, kedua belah pihak sesungguhnya sedang menciptakan pertalian untuk sebuah kebahagiaan. Justru, itulah yang dimaksud agama bahwa pernikahan adalah sebentuk ibadah yang dianjurkan syariat. Karena, bila sebuah pernikahan tidak mengandung kebahagiaan, melainkan salah satu pihak merasa tersiksa dan sengsara, maka tidak akan ada nilai ibadah di dalamnya.
"Intinya, kebahagiaan (dalam tali pernikahan) itu bagian dari ibadah. Karena itu, kalau menikah, haruslah membentuk kebahagiaan. Maka, harus kita wujudkan bersama, bahwa bahagia adalah ibadah sebagaimana membahagiakan juga ibadah. Karenanya, kitab ini saya namakan Manba’ussa’âdah, ‘Telaga kebahagiaan’," ungkapnya.
Kiai Faqih mengajak para peserta Kelas Intensif Ramadhan tahun ini, agar turut merasa tergerak untuk bersama-sama mewujudkan supaya kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga menjadi bagian yang tidak pernah lepas.
"Diharapkan, dengan membaca kitab ini, agar terpancar sinar, aura, semangat, bagi para santri maupun narasumber untuk sama-sama mewujudkan bagaimana kebahagiaan menjadi bagian dalam berkeluarga, baik suami maupun istri, anak-anak dan orang tua," pungkasnya.
Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh media Mubadalah, Fahmina-institute, Swara Rahima, dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Acaranya berlangsung selama 20 hari terhitung dari tanggal 17 April, sampai tanggal enam Mei 2021.
Kontributor: Ahmad Dirgahayu Hidayat
Editor: Kendi Setiawan