Nasional

Membangun Narasi Teologis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Kamis, 14 Februari 2019 | 17:15 WIB

Jakarta, NU Online
Di antara perdebatan dalam rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di kalangan pakar hukum Islam yang terekam dalam diskusi Pra-Munas dan Konbes NU di Gedung PBNU beberapa waktu lalu adalah perlunya membangun narasi teologis dalam mendorong penguatan RUU ini. Tujuannya tak lain menyelaraskan semangat ini dengan hukum Islam dan sekaligus menampik aggapan bahwa RUU ini bertolakbelakang dengan hukum agama.

Salah satu cara yang sempat diusulkan adalah dengan meletakkan RUU ini dalam kerangka pemikiran Abu Ishaq Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat dalam konsep ‘Al-maslahat’, sebagaimana dikemukakan Hj Sri Mulyati, anggota Muslimat PBNU. 

Ia mengatakan bahwa fiqih memiliki kewajiban untuk menjawab tantangan zaman termasuk pada kekerasan dan pemaksaan seksual yang menjadi latar belakang yang melahirkan rancangan hukum positif baru ini. Semangat ini sejalan dengan semangat Al-syatibi dalam menisbatkan hukum islam pada konsep 'Al-Maslahat' sebagai tujuan Tuhan selaku pembuat Syariat. 

Merujuk data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2013-2017 terjadi sebanyak 28.019 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak-anak, baik terjadi di ranah pribadi atau personal maupun komunitas (publik). Terdapat di antaranya 15.068 kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga (relasi personal) dan terdapat 12.951 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas (publik). 

Tak berhenti di situ, masalah-masalah itu melahirkan kehamilan yang tak dikehendaki dan lahirnya seorang anak. Tak jarang korban makin terpuruk dengan mengalami stress, depresi hingga gangguan jiwa dan percobaan bunuh diri.

Fenomena ini menurut Hj Sri Mulyati mesti dijawab oleh fikih dengan mempertimbangkan maqosidus syariah secara sistematis dan hati-hati. “Sehingga nanti ijtihadnya tidak keluar dari kerangka yang biasa kita gunakan untuk mengeluarkan produk hukum sebagai mana mestinya,” katanya dalam diskusi bersama NU online.

Untuk itu, kata dia, diperlukan ‘library research’ untuk menemukan tulisan-tulisan pemikir islam yang menulis tentang produk hukum atau filsafat atau yang lain yang beririsan dengan rancangan undang-undang ini termasuk membaca kembali konsep maslahat Imam Syatibi.

Dalam konsep Al-Mashlahat Imam Al-Syatibi

Imam Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat fi Ushuli al-Syariat berkesimpulan bahwa mashlahat merupakan tujuan Tuhan menciptakan syariat (qasdu al-syar’i) dan kemaslahatan hanya akan terwujud dengan terpeliharanya kebutuhan yang bersifat dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat bagi manusia sendiri.   

Daruriyat menitikberatkan pada kemaslahatan manusia untuk memelihara agama, jiwa, keturuanan harta dan akal. Hajiyat adalah kemaslahatan yang didapatkan manusia dari memperoleh kelapangan hidup dan menghindarkan diri dari kesulitan. Sementara tahsiniyat adalah kemaslahatan yang didapat manusia dari mengituki kepantasan dan kelayakan dan menjauhi segala yang tercela.  

Walhasil kesembilan perbuatan yang diatur dalam RUU PKS sejatinya bertentangan dengan upaya manusia dalam menjaga maslahat yang primer yakni Dharuriyat yakni melakukan pemeliharaan atau penjagaan terhadap pemeliharaan jiwa dan keturunan. (Ahmad Rozali)


Terkait