Nasional

Membumikan Aswaja di Grobogan

Rabu, 20 Maret 2013 | 22:18 WIB

Ahad (17/3) kemarin, Gedung Olahraga (GOR) '45 Grobogan Jawa Tengah dijubeli ribuan warga NU dari pelbagai daerah sekabupaten Grobogan. Keramaian ini tak lain merupakan puncak perayaan hari lahir organisasi kemasyarakatan terbesar se-Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) ke-87. Kiranya bukan hanya di Grobogan saja, Pati, Rembang dan beberapa daerah lain juga pasti ikut merayakannya.<>

Peran organisasi kemasyarakatan (ormas) memang saat ini tengah mengalami stigmatisasi. Ormas Islam, khususnya, acapkali menanggung label negatif. Ormas-ormas Islam di Kabupaten Grobogan masih sering mengambil alih peran penting aparat keamanan. Misalnya, Sweeping dan penyegelan tempat-tempat hiburan. 

Dengan dalih menghancurkan kemaksiatan, maka anarkhisme dan tindakan destruktif kerap kali muncul. Ironisnya, semua itu dilakukan dengan membawa panji-panji syiar ormas-ormas Islam. Sehingga agama Islam terpaksa harus menerima beban (stigmatisasi). Padahal substansi ajaran agama Islam adalah rahmatal lil’alamin.

Pun tak dapat dipungkiri, sebagaian besar umat Islam, khsususnya di pedesaan, tatkala terjadi perbedaan pendapat juga sering berujung pada kesenjangan sosial. Disparitas ideologi ini menimbulkan friksi sosial yang berkepanjangan. Dialektika sebagai jurus jitu Negara demokrasi, seolah hanya istilah hiasan yang tak bertaji. Bahkan jika kita tarik lebih jauh, prinsip Bhineka Tunggal Ika yang digagas para founding father bangsa ini hanya tinggal kenangan.

Inilah sederetan polemik pekerjaan rumah yang harus dihadapi pengurus serta warga NU Grobogan ke depan. NU bukan hanya berkutat pada masalah keagamaan (religious oriented), tapi sebagai ormas Islam, NU juga harus berpartisipasi mewujudkan kestabilan sosial (social oriented). Serta memiliki kontribusi nyata bagi bangsa. Sebagaimana amanat pasal 5 UU tentang organisasi masyarakat yang menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan berfungsi membantu pemerintah dalam mensukseskan pembangunan nasional.

Membumikan Aswaja

Ormas NU dan Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja) bak dua sisi mata uang tak terpisahkan. Menyebut ormas NUtentu muncul sebuah konsep yang dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyhari. Konsep tersebut tak lain adalah Aswaja. Aswaja merupakan epistemologi (manhajul fikr) warga Nahdliyin dalam bertindak.

Konsep Aswaja dalam konteks kesejarahannya meliputi; pertama, masalah teologi NU mengikuti salah satu dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Kedua, masalah fiqih NU mengikuti salah satu dari empat mazhab, Abu Hanifah, Malik Bin Anas, Muhammad Bin Idris Al-Ayafi’I dan Ahmad Bin Hambal. Ketiga, masalah tashawuf atau akhlaq NU mengikuti salah satu dua imam Junaidi Al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Pada tahap selanjutnya Aswaja mengalami pemaknaan progresif. Aswaja bukan hanya sebatas persoalan keagamaan, tapi mencakup pula dimensi sosial. Dengan mengambil ‘illat (entry point) dari orientasi konsep lama, aswaja bermetamorfosa menjadi roda menuju harmonisasi sosial. Aswaja bukan hanya diadopsi dari hukum normatif keagamaan, juga diadopsi dari pelbagai disiplin keilmuan yang humanis. 

Pemaknaan inilah yang disebut sebagai membumikan Aswaja. Pada tahap implementasinya, pemaknaan ini setidaknya dilakukan dengan tiga bentuk. Pertama, toleransi.  NU menjadi ormas yang menjunjung tinggi toleransi. NU tidak menghendaki warganya melakukan tindakan destruktif dalam merespon perbedaan. Dinamisasi dan toleransi NU terlihat jelas dalam gagasan-gagasan tokohnya, seperti Gus Dur. 

Seluruh warga NU Grobogan saat ini memiliki beban berat meneruskan perjuangan ini. Program-program kerja harus dibuat bukan untuk kepentingan golongan semata. Namun juga merambah untuk kemaslahatan bersama. Peran tokoh-tokoh dan para pengurus NU Grobogan juga harus mampu merepresentasikan nuansa moderat. 

Kedua, kepedulian sosial. Sebagai Ormas, NU Grobogan harus memberikan sumbangsih nyata bagi daerah. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan berbagai pelatihan ketrampilan kepada warga Grobogan. Pun juga bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosial lainnya. 

Ketiga, ketaatan hukum. NU juga merupakan ormas yang taat hukum. Artinya, setiap persoalan yang bersinggungan dengan hukum harus sepenuhnya diserahkan kepada hukum. Bukan dengan cara main hakim sendiri. Pancasila dan UUD 1945 juga harus menjadi landasan warga Nahdliyin bertindak. Keduanya memiliki nilai luhur guna mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Stigma ormas Islam destruktif sudah selayaknya dihapuskan. Bahkan agama Islam terlalu hina jika diafiliasikan dengan aroma kekerasan. Semua dapat diselesaikan dengan baik jika dilakukan melalui musyawarah. 

Untuk itu, melalui Harlah NU ini diharapkan NU Grobogan menjadi mercusuar ormas Islam progresif di Indonesia. Meskipun Grobogan bukan wilayah perkotaan, saya berharap semoga warga NU Grobogan mampu menjadi teladan. Semoga NU ke depan harus lebih baik. Amiin. (*)


Mansata Indah Dwi Utari
Guru dan Pengurus Fatayat NU Cab. Kradenan, Grobogan



Terkait