Jakarta, NU Online
Bhinneka Tunggal Ika menjadi slogan yang terus menggema dalam berbagai pertemuan antaragama dan antarbudaya, tak terkecuali dalam Forum ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) yang berlangsung pada 7-8 Agustus 2023 lalu. Unity in Diversity, begitu ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris, hampir tak pernah absen disampaikan para pembicara.
Betapa tidak, seribuan bahasa dengan begitu beragamnya agama, suku, dan etnis tetap menyatu dalam satu atap bernama Indonesia. Adagium itu pun senantiasa digemakan dengan harapan persatuan dalam keragaman perbedaan itu semakin meluas diserap dan diterapkan masyarakat dunia, tidak hanya Indonesia.
Namun, dalam konteks Asia Tenggara (ASEAN), ada sejumlah persoalan yang membuat Bhinneka Tunggal Ika itu belum sepenuhnya diserap dan diterapkan. Jika Indonesia memiliki satu bahasa persatuan dan satu mata uang, hal demikian tidak ada dalam ASEAN.
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru Prof KH Nadirsyah Hosen menyampaikan bahwa setidaknya ada lima hal yang perlu disoroti di wilayah Asia Tenggara berkaitan dengan Bhinneka Tunggal Ika itu.
Pertama, masyarakat di Asia Tenggara tidak berbicara dengan bahasa yang sama. Dengan penduduk yang mencapai sekitar 630 juta, ada sekitar seribu bahasa yang digunakan di Asia Tenggara ini.
Dalam konferensi ASEAN sendiri, bahasa Inggris yang digunakan secara resmi. Tidak semua orang Asia Tenggara mengerti dan memahami serta berbicara bahasa Inggris. Pertemuan ASEAN sendiri menggunakan bahasa Inggris. Sementara Masyarakat berbicara bahasa daerah masing-masing.
"Karenanya, perlu bagaimana kita menjaga dan merawat bahasa-bahasa lokal itu dan memperhatikannya," ujarnya pada ASEAN IIDC di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Senin (7/8/2023).
Kedua, akademisi yang akrab disapa Gus Nadir itu menyampaikan bahwa ASEAN tidak memiliki status yang sama dalam pembangunan ekonomi. Ia menyebut Singapura dan Brunei sebagai dua negeri yang kaya, tetapi negara lainnya belum setara. Bhinneka Tunggal Ika ini, menurutnya, perlu menjaga itu semua.
"Jika kita tidak setara, bagaimana Bhinneka Tunggal Ika ini mencegah terjadinya perdagangan orang yang menjadi perbudakan modern," katanya.
Ketiga, Gus Nadir menyoroti ketiadaan mata uang yang sama dalam wilayah ASEAN. Padahal, jika menilik Uni Eropa, mereka memiliki satu mata uang yang sama, yakni Euro.
"Kita tidak punya satu mata uang yang sama. Dolar Singapura lebih kuat bagi Rupiah Indonesia. Rupiah Indonesia lebih baik dari Dong Vietnam. Kita tidak punya Euro seperti Uni Eropa," ujarnya.
Keempat, ASEAN tidak punya sistem legal yang sama. Ada hukum sipil, Islam, sosialis, hingga hukum lokal, tetapi tidak memiliki satu hukum sendiri yang dapat mengikat dan memecahkan persoalan di satu regional.
"Karenanya, kita tidak punya mekanisme legal di tingkat ASEAN untuk memecahkan persoalan hukum. Apa instrumen dan alat untuk menuju ke sana?" Katanya.
Kelima, Gus Nadir menegaskan bahwa Bhinneka Tunggal Ika perlu diterapkan sampai pada ranah individu, tidak hanya pada tatanan masyarakat saja. Karenanya, pemerintah perlu memfasilitasi perbedaan masyarakat dan menjaga lokalitas dan agama yang harmoni ini.
Sementara itu, Pimpinan Vihara Mendut Bhante Sri Pannavaro menyampaikan bahwa Indonesia memiliki warisan spiritual, tidak hanya dari akar pribuminya, tetapi juga dari berbagai macam agama yang datang di negara ini selama beberapa abad termasuk Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Tao, Konghucu, Sikh, dan lainnya.
"Spiritualitas ini membentuk budaya Indonesia dengan keunikan karakternya. Harmoni budaya membentuk Bhinneka Tunggal Ika," katanya.
Frasa ini diambil dari kitab Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular, seorang ilmuwan dan sastrawan Buddha.
Selain Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia juga memiliki spirit gotong royong. Hal ini mendukung dan memperkaya moral nasional untuk meningkatkan kemanusiaan dan persatuan nasional dan berperan demokrasi dan keadilan.
Sementara itu, Martin Sinaga dari Kristen menyampaikan bahwa dia menemukan satu 'agama' di Asia Tenggara yang ia sebut sebagai eling.
"Jika saya berjalan-jalan di Asia Tenggara, saya kira ada satu ‘agama’ yang kita gunakan, yaitu mindfulness. Orang Jawa bilang eling," katanya.
Eling, barangkali, menurutnya merupakan sumber spiritual Asia Tenggara yang mungkin bisa menjadi satu 'mata uang' untuk menjembatani perbedaan, kesulitan ekonomi, dan politik.