Menengok ‘Kampung Kristen’, dari Mayoran di Gereja hingga Kisah Anak Kristiani Ikut Ngaji Al-Qur’an
Selasa, 18 Oktober 2022 | 08:49 WIB
Salah satu kegiatan masyarakat di Kampung Kristen adalah pengajian Al-Quran di Musholla (Foto: Nidlomatum MR)
Jakarta, NU Online
Di Bojonegoro di wilayah Kecamatan Kalitidu, terdapat satu kampung kecil yang dikenal dengan kampung Kwangenrejo. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan “Kampung Kristen” lantaran mayoritas penduduknya memang beragama Kristen. Kampung Kristen termasuk dalam wilayah administrasi Dusun Sidokumpul, Desa Leran, Kecamatan Kalitidu ini bisa ditempuh sekitar 35 menit dari pusat Kota Bojonegoro dengan mengendarai kendaraan bermotor.
Ada perbedaan mencolok saat memasuki dusun ini dibandingkan dusun-dusun sekitarnya yang memang mayoritas memeluk agama Islam. Saat masuk dusun, pengunjung akan melihat banyak anjing berkeliaran bebas berbaur dengan masyarakat. Suaranya pun bersahut-sahutan menggonggong dan tidak membuat risih penduduk yang hidup di dusun ini, meski banyak juga penduduk yang beragama Islam.
Berdasarkan sejarahnya, yang dikutip dari penelitian berjudul Komunikasi Dialektis Masyarakat Beda Agama di Bojonegoro besutan Nanang Fahrudin, nama Kampung Kristen dikenal bukan karena penduduknya yang 100 persen beragama Kristen, melainkan pengaruh sejarah yang menyebut ajaran Kristiani telah menyebar kuat sejak tahun 1920 an.
Seiring berjalannya waktu, baru sekitar tahun 1980 an penduduk beragama Islam datang dan menetap di kampung yang letaknya di dekat hutan jati ini. Para penduduk hidup damai dan berdampingan, dengan total penduduk yang terdata tahun 2020 lalu berjumlah 188 jiwa dari total 68 Kepala Keluarga (KK). Uniknya, dalam satu keluarga bisa saja anggotanya memeluk agama yang berbeda-beda, dan hal itu bukan menjadi masalah bagi mereka.
Bahkan, ketika penulis berkunjung ke kampung ini, ada kisah seorang anak yang belajar membaca Al-Qur’an di Musholla setempat yang ternyata orang tuanya beragama Kristen. Meski demikian, orang tuanya tetap mendukungnya untuk belajar membaca Al-Qur’an dengan membelikan perangkat pembelajarannya.
Seorang tokoh agama Islam di Kwangenrejo, yang menetap sejak tahun 1980 bernama Rasmin mengaku, istrinya awalnya beragama Kristen lalu kemudian pindah memeluk agama Islam. Sementara kedua orang tuanya tetap beragama Kristen dan mereka tinggal seatap dengan dirinya. Meski demikian, mereka tetap hidup berdampingan tanpa ada konflik keluarga. Realitas ini menjadi bukti, harmonisasi sosial dalam keberagaman tampak dari nukleus terkecil bangsa yakni keluarga. "Ibu mertua saya Kristen, kami tinggal satu rumah ya tidak apa-apa," ujarnya.
Praktik-praktik toleransi di kampung ini pun tidak hanya bisa diungkap dari keseharian keluarga, tapi juga dari sistem sosial yang ada dalam aktivitas penduduknya. Dari sumber penelitian yang sama, dari total keseluruhan penduduk di Desa Leran, 99,5 persen memeluk agama Islam dan 0,5 persennya beragama Kristen dan menetap di Kwangenrejo yang masuk RT 37 RW 10.
Di desa ini terdapat dua gereja Kristen Protestan yakni Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) serta ada juga musholla. Ketiga rumah ibadah ini jaraknya satu dengan yang lain tidak lebih dari 100 meter. Meski hidup dalam keberagaman dalam keagamaan, nyaris tidak ada konflik fisik antar pemeluknya. Relasi sosial yang berjalan adalah kehidupan damai.
Implementasi esensi praktik moderasi beragama sangat tampak pada setiap pelaksanaan ritual keagamaan di Kampung Kristen Kwangenrejo. Di antaranya ketika ada penduduk setempat yang kesusahan, maka pertolongan pun langsung diberikan tanpa membeda-bedakan keyakinan yang dianutnya. Misalnya saja ketika sakit, tidak pernah berpikir membeda-bedakan tetap saja dijenguk. Begitu pula ketika ada yang meninggal dunia, maka jenazah tidak dilihat sebagai Muslim atau Kristen tapi warga sama-sama membantu proses pemakaman.
Kemudian, saat perayaan hari besar keagamaan, ketika Natal, sebagai wujud rasa saling menghormati dan menghargai umat Muslim di kampung ini tidak segan untuk mayoran (makan bersama) di halaman gereja. Begitu pula saat perayaan Hari Raya Idul Adha yang selalu identik dengan hewan kurban, umat Kristiani pun mendapat jatah daging kurban yang dibagi-bagikan.
Kini jumlah warga pemeluk agama Kristen dan Islam hampir sama. Pemeluk Kristen 90 orang, sedang warga muslim mencapai 80 orang. Tradisi saling menghargai ini tetap lestari hingga saat ini. Karena itu pula, menurut warga Dusun Sidokumpul, Luluk Atul Mamlu'ah, saat ini Kampung Kwangenrejo menjadi ikon kerukunan dalam perbedaan di Desa Leran dengan ditetapkan sebagai Kampung Pancasila sebagai perisai untuk menjaga semangat kebangsaan pada diri generasi muda yang semakin hari semakin luntur akibat gempuran budaya luar dan pergaulan mereka yang semakin bebas serta sebagai ikon toleransi.
"Saat ini kalau masuk wilayah Sidokumpul pengunjung langsung bisa melihat gapura yang terpampang besar tulisan 'Anda Masuk Wilayah Kampung Pancasila'," ujarnya.
Penyematan nama Kampung Pancasila ini memang selaras dengan kenyataan kerukunan yang dijalin oleh masyarakat di Kampung Kwangenrejo. Karena potret kerukunan ini pula, Kampung Kwangenrejo saat ini dinilai semakin maju dan sering mendapat bantuan terlebih saat perayaan keagamaan.
"Saat hari raya Idul Adha, warga Kwangenrejo seringkali mendapat bantuan hewan kurban dari banyak donatur ada bantuan sapi, kambing dan dibagi rata kepada penduduknya tanpa membeda-bedakan agamanya apa. Intinya toleransi yang terjalin sangat bagus," tandas Luluk.
Pewarta: Nidlomatum MR
Editor: Zunus Muhammad
*Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI