Rupanya ada kaderisasi dari kakak kelas secara sistematis. Dari sinilah regenerasi pelajar suka tawuran terbentuk. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)
Jakarta, NU Online
Fenomena tawuran yang dilakukan remaja kian mengkhawatirkan. Belum lama ini, Kepolisian Sektor Bekasi Timur menetapkan 17 orang dari dua kelompok tawuran sebagai tersangka kasus penganiayaan. Penganiayaan itu terjadi di Jalan Mustikasari, Pengasinan, Rawalumbu, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Akibat kejadian tersebut, remaja berinisial RP tewas terkena luka bacok di punggung, lengan, dan kepala. RP yang berusaha berdiri untuk menyelamatkan diri justru tersungkur di bawah mobil pikap. Sedangkan MA alami luka robek di tangan dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Puspa Husada. Kedua korban diketahui ikut dalam rombongan pelajar saat terjadi tawuran di wilayah tersebut. Mereka sebelumnya telah janjian melalui Whatsap.
Kematian RP menambah catatan hitam perkelahian antarkelompok remaja di Bekasi. Narasi ihwal Bekasi jadi "kota tawuran" seakan tak berubah manakala membicarakan tawuran di Bekasi yang terus terulang. Sekitar 3.000 pelajar Bekasi terlibat dalam aktivitas “gangster.” Mereka tergabung dalam 29 kelompok dan kerap mengganggu ketertiban masyarakat dengan tawuran dan balapan liar.
Baca Juga
Mengubur Tradisi Tawuran Pelajar
Tak hanya di Bekasi, pekan lalu sekelompok pelajar SMK di Jakarta menyiramkan air keras terhadap seorang pelajar SMK lain saat tawuran. Kejadian ini terjadi di Jalan Pisangan Lama III, Pulogadung, Jakarta Timur pada Selasa (8/8/2023) pukul 15.30 WIB. Korbannya adalah seorang ibu dan pelajar usia 16 tahun yang tengah melintas di Jalan Pisangan.
Kaderisasi dari para Senior
NU Online menemui salah satu anggota gangster yang sering terlibat tawuran, Ade (bukan nama sebenarnya). Insiden terjadi tiga tahun silam. Kabar diejeknya teman satu sekolah membuat Ade dan lainnya terdorong melakukan aksi balasan, biasa disebut kolekan. Hal itu bermula dari aksi saling ejek. Tak terima sekolahnya diejek para alumnus itu memutuskan untuk bertemu dan hendak melakukan tawuran.
“Jadi saling ejek, saling nantang. Kami enggak terima dan akhirnya ngajakin ketemuan melalui Whatsapp,” kata Ade kepada NU Online.
Saat peristiwa meletus, Ade masih berstatus siswa junior. Masa-masa kelas VII atau VIII menandai fase yang penuh letupan. Di fase inilah kaderisasi yang dilakukan kakak kelas secara sistematis berlangsung.
Baca Juga
Kisah Remaja yang Ingin Membunuh Gus Dur
Bentuk kaderisasi bermacam rupa dari diminta membeli makanan di kantin dengan uang yang tidak seberapa sampai ajakan turun langsung ke gelanggang perkelahian. Mayoritas anak-anak yang baru setahun sekolah mengalami momen gojlokan seperti ini. Tentu ada yang enggan berpartisipasi. Namun, jumlahnya bisa dihitung jari.
"Tidak ada paksaan untuk ikut tawuran. Kami membebaskan mau ikut kaderisasi dan tawuran atau enggak. Semua kayak panggilan jiwa aja,” ujar Ade.
Ade mengaku, ia bersinggungan dengan aksi tawuran saat masih kelas VII. Bermula dari rasa penasaran dan ikut-ikutan. "Ingin tahu tawuran tuh seperti apa. Namanya anak SMP pikirannya masih belum luas jadi diajak tawuran kakak kelas, iya, mau aja,” ucapnya.
Aksi saling serang, kata Ade, hanya terjadi antarpelajar dari sekolah yang bermusuhan. Permusuhan ini telah terjadi sejak lama dan berlangsung turun-temurun. Namun setelah memakan korban, ia mengaku menyesal atas apa yang dilakukan semasa SMP dulu.
“Kesenangannya cuma sementara. Tawuran tuh enggak baik, enggak ada yang bisa kita petik dari sana. Semuanya negatif,” katanya.
Mustofa, pelajar SMK Tiara Bangsa, mengatakan miris dengan peristiwa tawuran yang sekarang semakin marak. Selain merusak nama baik pelajar, tawuran merusak citra sekolah, masyarakat maupun keluarga.
“Setiap pelajar seharusnya melakukan hal positif yang dapat mengembangkan skill masing-masing. Apalagi bagi siswa yang masuk kelas XII seperti saya harus nyiapin keahlian setelah lulus,” ucapnya, Sabtu (12/8/2023).
Faktor Pemicu Tawuran Pelajar
Pengajar Psikologi Universitas Hasyim Asy’ari Jombang, Asriana Kibtiyah menyebutkan, tawuran remaja itu berhubungan dengan identitas sosial mereka. Oleh karena itu dibutuhkan peleburan identitas untuk mendobraknya.
“Pelajar terkotak-kotakan dengan identitas sekolahnya masing-masing. Benar bahwa pergaulan menjadi salah satu sebab yang bisa memicu perbuatan seseorang untuk ikut melakukan aktivitas kekerasan. Namun lebih dari itu ada masalah identitas sosial harus diselesaikan,” jelasnya.
Persoalan lain, kata Asriana, yang harus dipecahkan adalah bagaimana sekolah bisa menjadi ruang aman bagi pelajar dan orang tua menjadi teladan (role model) anak-anak. Pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mengantarkan anak-anak untuk memiliki karakter yang mandiri, bertanggung jawab, dan memanusiakan manusia.
Alternatif lain yang bisa dilakukan sekolah, menurut Asrina, adalah dengan mengoptimalkan organisasi intra dan ekstra sekolah. Organisasi di sekolah punya peran, fungsi dan dampak untuk mengurangi tawuran yang terjadi di kalangan pelajar. Keberadaan OSIS perlu dikuatkan kembali untuk melatih dan membina siswa agar jadi pemimpin yang baik.
“Jadi program OSIS semestinya mengarah kepada pembentukan karakter, relasi sosial yang bagus, respect each other, bukan hanya di dalam sekolah saja tetapi di organisasi yang ada di luar sekolah,” terangnya.
Ketiadaan kegiatan menjadi salah satu faktor pemicu kelompok tawuran. Menurut M Rizki, Pembina OSIS SMK Tiara Bangsa, keberadaan organisasi intra dan ekstra seharusnya dapat dioptimalkan di sekolah agar dapat meminimalisir tawuran pelajar.
Misalnya, mewajibkan siswa ikut organisasi di sekolah sehingga ruang kumpul atau nongkrong bisa dihindari karena tawuran juga biasanya berangkat dari tongkrongan ketika pulang sekolah. Kemudian kerja sama dengan lembaga atau organisasi luar sekolah yang fokus pada pencegahan kekerasan dan konflik untuk memberikan pendidikan tambahan yang diharapkan dapat meredam konflik tawuran antarpelajar.
Perlu Ikhtiar Pencegahan
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Aris Adi Leksono menyebut, kejadian tawuran harus mendapatkan perhatian serius. Upaya pencegahan harus dilakukan dengan mengoptimalkan peran keluarga dan lingkungan untuk membina, mengawasi, dan membimbing anak.
Selain itu peran sekolah harus lebih optimal lagi dengan meningkatnya koordinasi dengan orang tua, lingkungan, dan aparat keamanan dalam pengawasan anak didik. Sanksi wajib juga harus diberikan kepada pelaku tawuran, sehingga tetap ada efek jera, tapi terhadap anak harus bersifat edukatif, pembinaan intensif, pengawasan, tetap memperhatikan hak-hak anak.
Ketua OSIS SMK Tiara Bangsa Radhit Julian menyebutkan, banyak cara yang bisa dilakukan sekolah agar siswanya tak terlibat dalam tawuran. Misalnya di sekolah SMK Tiara Bangsa ada pembinaan dan konseling bagi siswa yang memerlukan bantuan dalam mengatasi masalah pribadi atau konflik. Hal ini cukup membantu menghindari tawuran pelajar. Kemudian ada pengawasan dan keamanan yang dilakukan pihak sekolah agar mencegah tawuran dengan menggandeng pihak kepolisian untuk selalu memberikan arahan kepada siswa. Terakhir melibatkan orang tua dalam upaya pencegahan tawuran.
“Sekolah sering mengadakan pertemuan dengan orang tua untuk membahas peran mereka dalam mendorong perilaku positif di luar sekolah. Itu yang diterapkan di sekolah kami untuk mencegah tawuran pelajar,” ungkapnya.
Setiap sekolah, kata Radhit, baik SMA maupun SMK perlu melakukan koordinasi dan disatukan dalam wadah khusus untuk menanggulangi tawuran antarpelajar. Forum ini diisi oleh perwakilan siswa dan guru dari tiap sekolah.
“Di situlah mungkin nanti akar masalahnya terlihat dan hal ini harus dilakukan secara intens dan sekaligus melibatkan pihak keamanan dalam hal ini kepolisian,” jelasnya.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag RI.