Bogor, NU Online
Pertengahan 2019 hingga awal tahun 2020, masyarakat Indonesia merasakan dampak krisis sosial ekologi akibat massifnya eksploitasi industri ekstraktif. Berbagai bencana seperti tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan pun, terjadi bertubi-tubi.
Beberapa wilayah di Jawa Barat dan Jakarta tertimpa longsor dan banjir yang mengakibatkan banyak kerugian material maupun sosial.
Berangkat dari kegeliasan tersebut, Jaringan Gusdurian Bogor menggelar sarasehan bertema Indonesia dalam Pusaran Krisis Sosial Ekologi. Sarasehan digelar di Pesantren Misykat al-Anwar Bogor yang selama ini mengusung tiga tema utama pendidikan, ekologi, dan, multikulturalisme.
Sarasehan juga sebagai bagian dari peringati Haul Gus Dur, bekerjasama dengan berbagai jaringan organisasi lingkungan di antaranya Greenpeace Indonesia, Trend Asia, Enter Nusantara.
Sarasehan menghasilkan salah satunya rekomendasi meminta negara untuk meninggalkan modal ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologi dan mulai menggali potensi ekonomi yang berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.
Kegiatan sarasehan yang dihadiri oleh para aktivis NU dan lintas agama tersebut diisi oleh Guru Besar IPB Hariadi Kartodiharjo, Didit Haryo (team leader kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia), dan Ashov Birry (Koordinator Koalisi #BersihkanIndonesia).
Dalam kesempatan diskusi, Prof Hariadi menceritakan bahwa dulu sempat berdiskusi dengan Gus Dur semasa masih menjabat Presiden. Diskusi membahas permasalahan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia yang nyaris porak poranda rusak oleh investasi dan adanya regulasi yang justru memberi karpet merah pada investasi di sektor ekstraktif.
Menurutnya, sudah seharusnya menjadi concern semua pihak. "Terutama para santri yang ingin menegakkan kemanusiaan dan keadilan di Indonesia sebagaimana dulu diperjuangkan oleh almarhum Gus Dur," katanya.
Sementara Ashov Birry mengatakan berbagai organisasi lingkungan yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menyampaikan bahwa sudah seharusnya dilakukan lompatan paradigma untuk menyudahi krisis sosial ekologis yang meningkat di Indonesia. Keselamatan publik harus menjadi pertimbangan utama jika ingin mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Menjadi tanggung jawab kita semua untuk mendorong terjadinya transformasi tersebut di Indonesia di tengah-tengah langkah pemerintah yang justru menggelar karpet merah untuk investor," ujarnya pada kegiatan yang berlangsung Sabtu (15/2).
Didit Haryo, Pengkampanye Iklim dari Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa kecanduan pemerintah akan industri ekstraktif batubara harus segera diakhiri dan harus beralih ke energi bersih terbarukan.
"Krisis iklim tidak dapat lagi kita hindari jika pemerintah tidak segera bertindak mengakhiri kecanduan energi kotor batubara. Salah satu langkah nyata untuk mengatasinya yaitu dengan beralih ke panel surya," ucapnya.
Hal itu, sambung Budi S Rahmatullah alias Buce dari Jaringan Gusdurian Bogor, menjadi upaya membangun kesadaran masyarakat sipil lalu bersama-sama mencari solusi dan melakukan kerja-kerja kolektif terkait krisis ekologi yang dialami bangsa.
Sedangkan menurut, Elok Faiqotul Mutia, Direktur Eksekutif Enter Nusantara yang turut mendukung kegiatan, mengatakan agar kedepannyasemua pihak, terutama organisasi Islam besar seperti NU yang concern pada perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara menyerukan keterlibatan kaum muda. Ia menekankan, krisis iklim mengancam masa depan anak muda, generasi yang akan merasakan dan menerima dampaknya.
"Santri merupakan bagian anak muda progresif yang mendukung transisi energi sebagai solusi dari krisis iklim tersebut. Kebaikan untuk mengiringi haul Gus Dur ini patut disebarluaskan sebagai amal yang bermanfaat untuk manusia dan semesta," tutup Mutia.
Pengajar Misykat Al-Anwar yang diwakili oleh Roy Murtadho mengatakan bahwa dalam konteks krisis sosial ekologi sebagaimana hari ini terjadi. Perjuangan Gus Dur bisa diimplementasikan dalam upaya mendorong pemerintah untuk segera meninggalkan ekonomi ekstraktif menuju ekonomi yang berkeadilan lingkungan dan kemanusiaan.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa acara sarasehan ini menjadi bentuk komitmen Jaringan Gusdurian dalam mengenalkan nilai kemanusiaan dan keadilan yang diwariskan Gusdur kepada masyarakat.
"Itulah warisan utama Gusdur. Beliau tidak hanya berbicara toleransi, tetapi lebih luas dari itu, soal kemanusiaan dan keadilan," tambah pria yang kerap disapa Gus Roy ini.
Kontributor: Nina
Editor: Kendi Setiawan