Peserta MQKN 2023 saat tampil pada babak final di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Ahad (16/7/2023). (Foto: NU Online/Malik)
Lamongan, NU Online
Wajah gugup sangat nampak terlihat jelas pada raut wajah finalis peserta Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN) 2023 di Marhalah Ulya. Pada Marhalah Ulya terdapat beberapa majelis yang diperlombakan, di antaranya Fathul Mu'in, Syarah Ibnu Aqil, Minhaj Al-Abidin, dan lain sebagainya. Mereka harap-harap cemas di ruang kelas majelis masing-masing, menunggu namanya dipanggil oleh panitera guna membaca kitab yang dilombakan di hadapan Dewan Hakim, untuk selanjutnya tentu saja mendapatkan pertanyaan dari Dewan Hakim.
Baca Juga
Berikut Daftar Peserta Finalis MQKN 2023
Finalis pada masing-masing majelis terdiri dari 12 orang, terdiri 6 putra dan 6 putri. Mereka duduk di kursi kayu, dekat papan tulis, tidak jauh di belakang Dewan Hakim. Dengan serius, mereka membaca kitab yang dipegangnya, sesekali wajah mereka melirik finalis yang sedang tampil. Para pendamping turut melihat dari pintu dan jendela, bukan hanya pendamping, tetapi juga non finalis yang ingin melihat temannya tampil, sekaligus memberikan semangat. Maka tak ayal, sepanjang lorong kelas, penuh sesak.
Muhammad Khalil Gibran (18), dari Kafilah Sulawesi Selatan yang mengikuti Majelis Kitab Minhaj Al-Abidin mengaku gugup sekaligus deg-degan tampil pada final MQKN 2023. Sebelumnya, ia mengaku tidak menyangka bisa lolos ke putaran final, pasalnya persiapan yang dilakukan hanya satu bulan saja, meskipun begitu ia tetap bersyukur bisa lolos ke putaran final.
“Semalam lebih intens lagi, kemarin pagi sesudah Dzuhur, sesudah makan dibimbing lagi, sampai Ashar. Malam lanjut lagi, habis Isya lanjut lagi bimbingan sampai jam 11, istirahat. Ini tegang, sekaligus merasa deg-degan. Semoga dapat mencapai dan meraih hasil yang terbaik, walaupun nanti seandainya tidak menjadi juara, setidaknya terbaik bagi diri sendiri,” ujar santri Pondok Pesantren Darul Dakwah wal Irsyad Mangkoso pada Ahad (16/7/2023).
Sementara itu, Ulya Muthomainah Siregar (18) dari Kafilah Sumatra Utara yang sedang tampil membacakan Kitab Minhaj Al-Abidin nampak gugup, tetapi kegugupan itu hanya berlangsung sementara. Ia bisa membaca maqra dan mampu menjawab pertanyaan dari Dewan Hakim, mulai dari nahwu, sharaf, hingga pertanyaan pemahaman atas teks yang dibaca.
Santriwati dari Pondok Pesantren Darul Ikhlas Mandailing Natal ini merasa lega sekaligus bersyukur setelah bisa tampil pada final MQKN 2023 “Semoga persiapan saya ketika mengikuti lomba lebih diperkuat lagi, semoga hasilnya ini memuaskan tidak mengecewakan,” ujaranya.
Hal senada juga dialami oleh Nabilah An-Naila (18) dari Kafilah Jawa Tengah, yang mengikuti Kitab Minhaj Al-Abidin. Santri asal Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah ini mengaku gugup. Untuk mempersiapkan final ini, yang bisa ia lakukan hanya belajar dan ikhtiar.
“Persiapan tentu saja belajar, disertai dengan doa, tetapi yang penting berikhtiar, hasilnya seperti apa yang penting tawakal. Sebenarnya pas pertama agak nggeredek, khawatir tidak bisa baca, tetapi Alhamdulillah diberi kemudahan, kalau sekarang fasenya pasrah, semoga Allah memberikan hasil yang terbaik,” ujarnya.
Naila mengaku bersyukur bisa tampil di MQKN 2023, apalagi bisa tampil hingga babak final “Tadi saya di bab lapar, keadaan orang ahli ilmu harus memiliki sifat-sifat yang baik. Kalau Dewa Hakim kan beda-beda ada yang dari nahwu , dari segi kenahwuan, itu fi’ilnya apa, tetapi juga ada yang analisis pengembangan dari pemahaman tadi, ini beda-beda. Sulit kan relatif, menurut saya sulit tadi,” ujarnya.
“Dengan mengikuti kegiatan MQKN ini bersyukur banget, bisa bertemu orang yang alim, orang yang pintar. Tetapi yang lebih berharga dari pengalaman adalah pengamalan, semoga bisa mengamalkan ilmu yang kita pelajari,” pungkasnya.
Tidak jauh dari Majelis Minhaj Al-Abidin, pada majelis Syarah Ibnu Aqil juga terjadi hal serupa. Muhammad Khairul Muamar (18) dari Kafilah Aceh, mengatakan meskipun persiapan dari sebelum babak penyisihan, yang dilakukannya 1 bulan, tetapi tampil di final juga tetap merasa gugup.
“Waktu pertama deg degan, lambat laun waktu berjalan Alhamdulillah sudah nyaman, tadi membahas masalah sifat musyabbahah. Ada yang menanyakan bagaimana perbedaan sifat musyabbahah dengan sifat-sifat yang lain, sifat-sifat musyabbahah lain dalam Al-Qur’an dan sebagainya. Lumayan sulit, karena ini event nasional. Semoga penampilan ini yang terbaik
Santri asal Pondok Pesantren MUDI Masjid Raya Samalanga ini mengaku bersyukur bisa tampil di ajang bergengsi tingkat nasional, ia menyatakan setelah tampil final ini, yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa dan tawakal. Semoga diberikan hasil yang terbaik.
Belajar dari Kegagalan
Masih pada kitab yang sama, Muhammad Arya Yudha Wicaksono (19) dari Kafilah Lampung meskipun ia nampak gugup sebelum tampil, tetapi ia bisa mengatasi kegugupan itu dengan baik. Tentu ia tidak menyangka bisa masuk ke final, sebab pada event nasional sebelumnya di Solo ia gagal mendapatkan medali. Tetapi dari kegagalan itulah ia terpecut untuk mempersiapkannya lebih matang, sehingga di event yang akan datang, ia bisa lebih baik.
“Pasti pertama deg degan, seperti orang takut, karena babak penyisihan dengan babak final itu berbeda. Penyisihan saya merasa santai, pertanyaan tidak terlalu susah, pas babak final ini pertanyaan juri lebih ke kontekstualisasinya. Tadi di lapangan terjadi kendala-kendala yang tidak diinginkan, seperti lupa. Kebanyakan dari Dewan Hakim, karena rekonteksualissi itu menelaah literasi dari selain kitabnya, Dewan Hakim meminta contoh di luar kitab, Dewan Hakim langsung meminta praktek kepada kita, mereka mengucapkan Bahasa Indonesia, kita dalam Bahasa Arabnya,” ujar santri Pondok Pesantren Madrijul Ulum Bandar Lampung itu.
Hal serupa juga dialami oleh Arief Rahman Hakim (19) dari Majelis Kitab Fathul Muin dari Kafilah Jawa Barat. Beberapa kali ia tersendat, ketika mendapatkan pertanyaan Dewan Hakim, tetapi dengan ketenangannya, ia bisa mengatasinya dengan baik.
“Persiapannya bisa dikatakan dari penyisihan ke final ini 1 hari, jeda itu saya diusahakan untuk semaksimal mungkin. Mungkin agak gugup tadi, sehingga bingung juga tetapi setelah bisa tenang Alhamdulillah. Kesulitan saya itu tadi tentang mufrodatnya, ada yang lupa sedikit, cuman mufrodatnya sangat asing, sangat jarang berada di kehidupan sehari-hari, sehingga sangat sulit. Harapan saya semoga adanya even ini ajang untuk bersemangat lagi, bukan hanya sebatas lomb saja , tetapi di kehidupan sehari bisa mengaplikasikannya, lebih semangat ke depannya,” ujar santri Pondok Pesantren Baitul Hikmah Tasikmalaya.
Dibuat Santai
Jeda antara penyisihan dan final hanya satu hari. Supaya peserta tidak gugup, pembina dari Kafilah Sumatra Utara, Samsudin Siregar menyiasatinya dengan diajak jalan-jalan terlebih dahulu.
“Setelah kita tahu ada beberapa yang masuk final, kemarin kita bawa santai dulu, jalan-jalan, semalam baru dibimbing lagi, hampir jam 11, tadi pagi kita coba untuk membimbingnya lagi setelah Shalat Subuh. Habis itu, kita tidak lupa bersyukur kepada Allah, supaya dikuatkan lagi hatinya, diterangkan pikirannya, untuk mentalnya dalam berlomba ini. Harapannya semua kafilah pasti ingin juara 1, tetapi nggak mungkin semuanya juara 1,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Zulfan Fahmi M Nasir (33), salah satu pembina dari Pondok Pesantren MUDI Mesra Mesjid Raya Samalanga Nanggroe Aceh Darussalam. Ia mengatakan bahwa namanya lomba pasti gugup, apalagi MQKN merupakan ajang bergengsi. Persiapan untuk final, yaitu memberikan motivasi.
“Dari santri kami yang bisa masuk final MQKN 2023 ada empat. Persiapan sebelumnya kan satu hari sebelumnya libur, kita manfaatkan waktu kosong itu untuk membaca, menganalisa berdasarkan waktu penyisihan, model pertanyaan yang dewan hakim ketika babak penyisihan kita analisa semua, sebagai persiapan untuk final. Semoga ke depan persiapan kami lebih baik lagi,” ujarnya.
Kontributor: Malik Ibnu Zaman